Tampilkan postingan dengan label cerita. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label cerita. Tampilkan semua postingan

Monochrome

Monochrome
Gadis tersebut menumpukan dagunya pada kedua tangannya, ia tengah mengamati seseorang dengan hikmat. Tanpa sadar seulas senyum terbit di wajahnya dan kedua manik matanya tampak sangat berbinar. Jika seseorang mengikuti arah pandang perempuan berambut kucir kuda tersebut, pastilah mengerti siapa gerangan yang dipandangi gadis tersebut. Austin, cowok yang di lehernya selalu menggantung kamera digital berwarna metalik. Cowok yang selalu tersenyum sesaat sebelum menjepret suatu momen agar terekam di kameranya. Cowok yang dikaguminya semenjak mereka masuk SMA bersama.

Austin mendekat dan langsung memotret wajah si gadis, Beverly. Beverly yang tersadar bahwa Austin menjepretnya secara candid langsung mengomel dan wajahnya tersipu. “Austin, jangan mengambil fotoku secara candid!!”

Mengamati hasil foto yang diambilnya, Austin tersenyum. “Foto candid adalah foto dengan ekspresi terjujur yang pernah ada.”

Beverly memutar kedua bola matanya, ia sudah terbiasa dengan kata-kata mutiara yang selalu disemburkan Austin. “Ya, ya. Terserah.”

Pulang sekolah Beverly langsung melepas sepatu dan menuju kamar tanpa berganti baju dahulu. Ia lekas mengutak-atik iPhonenya seakan apabila ia tidak melakukannya sekarang juga maka nyawanya akan melayang. Aplikasi pertama yang dicarinya adalah instagram, dan lekas saja Beverly mencari akun Monochrome_Austin. Cewek ini tidak pernah absen memberi tanda like pada semua foto Austin sekaligus mem-follow akun ini. Dan dapat ditebak ketika Austin followback, Beverly langsung menjerit histeris serta lari berkeliling rumah sehingga ibunya hanya dapat menggeleng pelan.

Sembari mengamati layar ponsel, pikiran Beverly melayang dan bertanya-tanya. Kenapa semua foto yang dipajang Austin selalu berwarna hitam-putih? Nama akunnya pun terdapat kata “monochrome”, apa artinya bagi Austin? Yah, meskipun begitu, menurut Beverly semua foto jepretan Austin sangat bagus dan indah. Mungkin tidak semua yang hitam-putih selalu membosankan. Terkadang suatu hal yang monochrome dapat menyiratkan jutaan makna…



“Hei, Austin!” sapa Beverly keesokan paginya begitu tiba di kelas. Austin yang tengah membersihkan lensa kameranya mendongak. “Aku pengin bertanya sesuatu,” sambungnya seraya meletakkan tas di atas meja.

“Tanya apa?” balas cowok itu kembali berkonsentrasi pada kamera kesayangannya.

“Kenapa sih semua foto yang kamu upload di Instagram warnanya hitam-putih? Kok nggak warna-warni??”

Kali ini Austin menghentikan aktivitasnya, ia menatap Beverly dengan serius dan tanpa sadar Beverly menahan napasnya. “Karena foto tetaplah indah tanpa warna, aneka warna yang hilang tidak akan mengurangi esensi keindahan itu sendiri.”

Sejenak gadis yang hari ini memakai bando putih tersebut tercengang, kemudian ia langsung sadar kembali. “Wah, aku setuju! Kuakui, alasanmu terlalu puitis, tapi mau tak mau aku setuju. Sekarang rasa penasaranku sudah terpuaskan.”

Beverly mengulum senyum tulus dan takjub, rasa kagumnya pada Austin makin bertambah. Sekarang sosok pria di hadapannya menjelma menjadi seorang pangeran dari dunia impian, sosok yang selalu diimpikannya. Austin yang eksentrik. Austin yang menarik. Austin yang berjiwa seni. Austin yang segalanya! Tidak ada yang dapat mengukur kedalaman laut perasaan Beverly pada Austin, bahkan gadis itu sendiri…



Seiris senyum muncul di wajahnya ketika cowok hobi fotografi tersebut mempersiapkan kameranya. Ia teringat pertanyaan semua orang, “kenapa semua foto yang kamu pajang warnanya hitam-putih?” dan dengan tenang Austin selalu menjawab, “karena aneka warna yang hilang nggak akan mengurangi esensi keindahan foto itu sendiri.”

Alasan sebenarnya bukan itu, meski Austin tidak sepenuhnya berbohong. Semua gambar tersebut bernuansa monochrome karena Austin ingin semua orang merasakan keindahan seperti dirinya merasakan keindahan. Cowok bertubuh atletis itu mengalami buta warna, monokromatis tepatnya. Ia hanya dapat melihat sekitarnya dengan dua warna dasar, yaitu hitam dan putih dengan tingkat gradasi berbeda tentunya. Semakin cerah sebuah warna, maka warna tersebut menyerupai putih dan sebaliknya.

Semenjak divonis demikian, kedua orangtua Austin selalu menatap iba pada putranya. Namun Austin tidak pernah suka diperlakukan demikian. Ya Tuhan, dia hanya tidak bisa melihat warna! Dan itu tidak membuat nyawanya terancam. Jadi Austin berusaha menunjukkan pada semua orang bahwa dia baik-baik saja dan bisa hidup bahagia meski memiliki kekurangan.

“Biarlah sekitarku bernuansa monochrome, yang penting imajinasi dan keindahan di otakku nggak monoton.” Itulah pegangan hidup Austin selama ini.

Dengan penuh hikmat cowok penyuka warna putih itu mengarahkan lensa ke arah langit dan mengambil gambarnya. Tidak selamanya warna hitam dan putih itu membosankan…











Cerpen Karangan: Emma Lini Rizky
Blog: http://june5th1997.blogspot.co.id

Mawar Dan Bulan

Mawar Dan Bulan


Pagi itu, Rahka berangkat menaiki angkutan umum menuju sekolah. Tempat yang sangat ia sukai, untuk menumpahkan isi hatinya setiap hari, kepada sahabat sahabatnya. “Rahka!!” Amar, sahabatnya memanggilnya di depan gerbang sekolah. “Mengapa kau tidak mendengarku?, aku sudah memanggilmu dari tadi”. Kata Amar dengan wajah sebalnya yang lucu. “Wah, Maafkan aku.. Aku buru buru karena takut bajuku basah”. Ya, memang saat itu gerimis hujan turun di kota mereka. “Ya sudah, lupakan kejadian itu.. Ayo kita masuk kelas”. Jawab Amar. Dua sahabat itu memasuki ruangan kelas dan duduk di bangku mereka karena Guru mereka akan datang.

Tak lama kemudian, Wali kelas mereka, Miss Atja datang dan memberikan muridnya tugas menggambar karakter komik. Kebetulan Rahka dan Amar gemar dengan buku komik, jadi sangat mudah bagi mereka untuk menentukan cerita. Amar dengan serius menggambar karakter anak perempuan yang sedang berlari memegang balon, ia lalu menulis deskripsi cerita di bawah gambar mereka masing masing. Sedangkan Rahka, ia menggambar Remaja perempuan yang memakai kerudung biru, dan memegang bunga mawar. ‘Kelopak mawar yang indah, kubawa di tengah sunyinya padang pasir.. Menatap langit kosong dan mengeluarkan air mata’. Rahka menulis deskripsi cerita itu singkat di bawah gambar.

“Baiklah anak anak, pelajaran berakhir lebih cepat karena Miss harus pergi meeting di ruang guru. Jadi silahkan berkemas kemas dan bersiap pulang”. Ucap Miss Atja yang terburu buru. “Baiklah miss”. Amar dan Rahka segera pulang.

“Rahka!” seseorang memanggil Rahka dengan keras, ternyata itu adalah Mikel, kakak kelas Rahka. “Kak Mikel? Ada apa memanggilku?”. Tanya Rahka penasaran. “Tak apa, aku dengar kau berulang tahun sekarang?”. Kata Mikel. “I..iya kak, aku ulang tahun sekarang”. Jawab Rahka tersipu malu. “Selamat ulang tahun Rahka, omong omong bagaimana bila kita berdua merayakannya nanti malam?”. Tanya Mikel. “Nanti malam? Maksudnya, ke…kencan?” Rahka malu malu bertanya. “Iya, seperti kencan. Aku akan menjemputmu di Rumahmu, jam 7 malam”. Rahka mengangguk angguk dan meninggalkan Mikel pulang.

“Apa yang dikatakan Mikel tadi? Beritahu aku!” tanya Amar penasaran. “Mikel mengajakku makan malam”. Jawab Rahka. “Baguslah, semoga kau jodoh dengan dia”. Kata Amar cekikikan.

Sampai di rumah, Rahka langsung menuju kamar dan mengganti baju. “Rahka.. yuhuu.. Panggil Mom dan Dad, juga kak Marli. “Ya kak.. Eh, mereka kemana?”. Rahka melihat taman belakang dan tiba tiba “Brurr”. Rahka didorong ke kolam renang dengan mom and dad. “MOM, DAD, KAKAK!!” Ucap Rahka sebal. Ternyata ini surprise untuk Rahka karena ia Berulang tahun. Lalu mom dan bibi rakha mengeluarkan makanan, kue,dan minuman, disusul kedatangan keluarga besar Rahka datang untuk merayakan. Rahka tersenyum histeris melihat itu. Ia tak lupa mengingat makan malamnya bersama Mikel.

Setelah acara selesai, Rahka memanggil Kak Marli untuk meminta bantuan. Rahka menceritakan semuanya mengenai rencana makan malam itu pada kak marli, “ooh begitu. Kalau gitu ayo kita make up kamu sekarang.. masuk duluan deh ke kamar”. Ucap kak marli enteng. Rahka hanya bilang oke dan masuk ke kamarnya. ‘Ceklek’ bunyi gagang pintu yang dibuka oleh marli, ia membawa box make up dan bingkisan.” kak, bingkisan itu apa isinya?”, Kak Marli membuka bingkisan itu dan menunjukkannya pada Rahka. “ini surprise dari kakak, kemarin teman kakak pulang dari singapore, kakak menitip dress untuk kamu di dia. Gimana, bagus gak?”, tanya marli. “Ini.. ini bagus banget kakak!!”. Ucap rahka bersemangat. Kakaknya hanya tersenyum dan mulai mendandani adiknya itu.

Dengan ketelitian dan kesabaran, Rahka diubahnya menjadi cantik seperti bidadari, dengan dress dan pernak pernik lainnya. “terima kasih kakak” ucap rahka. “Tintin” suara klakson mobil dari luar berbunyi. Mikel menjemput Rahka untuk makan malam. Ia terpukau melihat rahka dengan gaun yang elegan dan make upnya yang simple. “So, kita akan kemana?”. tanya rahka. “You will see”, kata mikel sambil tersenyum. Mobil mulai berjalan, rahka sangat gugup untuk berbicara, ia memilih untuk diam saja. Ternyata, Rahka dibawa ke sebuah restoran bintang 5 di tengah kota. Restoran itu baru dibuka. Mereka berdua segera turun dari mobil, saat berjalan, tiba tiba Mikel memegang tangan Rahka. Rahka gugup berkeringat dingin. “Wilson, meja untuk dua orang sudah disiapkan?” “sudah tuan” jawab pelayan bernama wilson.

Ia naik ke lantai 7 melalui lift. Mungkin, tempat mereka adalah tempat yang paling spesial. Di rooftop, dipagari dengan pagar kayu beserta bunga mawar. Rahka bingung melihat Mikel yang sangat berani melakukan hal ini demi ia yang berulang tahun. Mereka duduk di tempat itu, dan mikel mulai pembicaraan, “Rahka..” Mikel memegang tangan rahka untuk yang kedua kalinya, “se..sebenarnya, Aku cinta dengan kamu,”. Ucap Mikel ragu ragu. “Will you be my girlfriend?”. Rahka yang baru memasuki umur 18 tahun itu gugup. “Yes, i want!” kata rahka malu malu. Lalu mereka berpelukan di bawah indahnya bulan purnama dan dengan mawar dimana mana.






Cerpen Karangan: Sadina Aimee Prasetya
Facebook: Sadina Aimee

Tuhan, Dengar Aku

Tuhan, Dengar Aku




Aku memaksakan kedua mataku terbuka. Melawan bisik-bisik halus untuk tetap terlelap di sepertiga malamnya. Jika saja bukan karena sebuah kewajiban dan keharusan bagiku, selimut tebal itu tentu akan ku tarik kembali. Membiarkannya membalut tubuhku, melanjutkan lagi mimpi yang terhenti.

Tubuhku bergidik. Dibasuhi air wudu yang menjalar masuk ke dalam pori-pori tubuhku. Pagi ini, ku dirikan lagi dua rakaat bersama rintih keluh dalam sujudnya. Ada perasaan kalut dalam diriku. Dalam hati, aku merindukan sosok imam dalam salatku, dan satu bidadari cantik dalam hidupku. Yah, ibu dan bapak. Dua malaikat dalam hidupku.

Rasanya sudah lama sekali aku tidak mencium tangan bapak. Bahkan untuk senyum pun hampir tak pernah aku dapatkan lagi dari bibirnya. Ia hanya akan ada di rumah jika matanya mulai lelah. 10 menit lagi adzan subuh berkumandang. Aku bergegas menuju kamar bapak. Sedikit mengguncangkan tubuhnya, aku berbisik. Meskipun aku tahu bapak tak akan mampu mengerti bahasa tubuhku. Bapak berontak. Matanya seolah berbicara bahwa ia tak ingin ada aku di hadapannya. Aku berusaha berbicara dengan bahasa tanganku agar bapak mengerti.

“Apa? Salat? Apa dengan salat bisa membuat kita kaya raya lagi? Berdoa saja sana! Sampai air matamu habis pun Tuhan tidak akan pernah mendengar doa orang bisu sepertimu!”

Aku terduduk lemas. Lagi-lagi bapak meninggalkan aku dengan sejuta kata hina yang begitu menyayat hati. Perlahan air mataku mulai jatuh. Aku menangis. Aku terbangun, ketika menyadari cahaya matahari yang masuk menyilaukan kedua mataku dari balik jendela. Aku melirik jam dinding. Pukul 09.00. Aku harus menengok ibu digudang. Ia akan berontak jika perutnya terasa lapar. Namun syukurlah, ia masih terlelap bersama peluhnya.

Melihat tubuhnya terkulai lemah dengan pasung di kedua kakinya, aku jadi merasa benci pada diriku. Jika saja kejadian 3 bulan lalu tak pernah terjadi akibat kebodohanku, mungkin ayah akan tetap jadi ayah yang berjuang paruh waktu demi perusahaan yang menjadi cita-cita terbesarnya. Dan ibu akan tetap jadi ibu yang ceria dengan sifat periangnya. Dan aku, akan tetap jadi aku yang sempurna karena kehadiran kedua orangtuaku, meskipun keterbatasan bersarang dalam diriku sejak aku terlahir.

Aku masih ingat jelas. Sore itu hujan deras. Listrik di sekitar perumahanku padam. Ibu belum kembali sejak tadi sore mengantar cupcake pesanan para tetangga. Sedangkan bapak seperti biasa. Pulang larut malam saat kami terlelap di alam bawah sadar. Aku hanya berdua dengan Bi Surti. Asisten rumah tagga di rumahku. Bi Surti menghampiriku dan menyalakan sebuah lilin untukku. “Lala tunggu di sini sebentar tidak apa-apa ya? Lagi pula sudah ada lilin, jadi Lala tidak akan merasa gelap. Bi Surti mau menjemput Ibu di rumah Bu Midah,” Bi Surti tersenyum. Aku mengangguk.

Aku benci saat dunia mulai gelap. Apalagi jika listrik ikut-ikutan padam. Ku rebahkan tubuhku di atas kasur lantai. Aku menarik selimut agar tubuhku terbalut sempurna. Namun, ujung selimut itu menyenggol lilin di sampingku. Aku baru menyadari saat hawa panas menjalar melahap sebagian selimut yang tengah ku kenakan. Aku terlonjak. Api itu menyambar tubuhku. Aku mengeluarkan baju-bajuku dari lemari, dan melemparkannya ke arah kobaran api.

Namun api semakin besar dan memakan setiap benda dalam rumahku. Aku ingin berteriak, namun pita suaraku lemah. Dan setelah itu, gelap. Entah, aku tidak mengingat apa-apa lagi. Aku berada di rumah sakit saat mataku terbuka. Tidak ada ibu, bapak, ataupun Bi Surti. Aku berusaha mengingat apa yang baru saja terjadi padaku. Tiba-tiba pintu terbuka. Aku melihat sosok ibu di sana. Matanya sembab. Tangannya gemetar hebat. Dan itu bapak. Wajahnya merah menahan marah. Aku menangis, dan satu tamparan kecil mendarat di pipi kiriku.



Aku hanya dua hari berada di rumah sakit. Meskipun luka bakar dalam tubuhku masih sangat membuatku kesakitan. Ibu bilang bapak tak mampu membayar biaya rumah sakit lagi. Perusahaan bapak bangkrut. Arsip-arsip dan surat-surat penting habis terbakar. Kerja samanya dengan perusahaan lain pun dibatalkan. Hutang bapak menumpuk. Tanah pun terpaksa bapak jual. Rumah kami tak menyisakan satu barang pun, selain tembok-tembok gosong. Aku mengerti mengapa bapak semarah itu padaku.

Aku rasa bapak telah di luar batas kesabarannya. Perusahaan yang bapak elu-elukkan kini telah gagal. Dan ibulah yang menjadi kambing hitamnya. Bapak memasung ibu di gudang dengan seribu halusinasi dalam 3 bulan terakhir ini. Bapak bilang ibu tidak bisa mendidik aku dengan baik. Dan aku hanyalah benalu dalam hidupnya. Aku menjerit dalam hati. Aku benci diriku. Aku benci kekuranganku. Aku ingin ibu dan bapak mendengar suaraku.

Arrrggghhtt!!!

Aku menangis sejadi-jadinya sampai ibu terbangun. Lantas ibu menatapku dan memelukku hangat. Ibu tersenyum. Kemudian berbisik, “Allah mendengarmu Nak. Allah mendengar kita. Allah bersama kita.” Aku menangis memeluk ibu. Dalam hati aku membenarkan kata-kata ibu. Aku tak seharusnya membenci atas apa yang menjadi takdir Tuhan dalam hidupku. Bapak tak mampu mendengarku, begitu pun ibu. Tapi Tuhan mampu. Tuhan bersamaku. Tuhan, dengar aku.








Cerpen Karangan: Riska Desinta Putri
Facebook: Riska Desinta Putri

Tiga Tangga Menuju Pesantren

Tiga Tangga Menuju Pesantren



Beberapa nilai hasil ujian semester lima sudah keluar. Nia begitu antusias menantikannya terlebih lagi hari ini adalah hari terakhir dosen menggungah nilai mahasiswa ke dalam situs yang dapat diakses oleh mahasiswa di kampusnya.

Meski Nia tampak santai menonton acara TV kesukaannya, tapi hatinya sangat gelisah. Ia sedang mengkhawatirkan sesuatu yang sudah jauh–jauh hari ia takutkan. Ia tidak begitu memperhatikan TV yang sedang menyala, tangannya gemetaran menggengam smartphone miliknya. Sesekali ia mendengus kesal sembari menggerakkan jarinya pada layar smartphonenya.

“Kenapa nilai yang satu ini belum juga keluar–keluar sih?!”

Kali ini ia tidak mempedulikan lagi smartphonenya, ia meletakkannya di atas meja. Perhatiannya sekarang kembali terfokus pada berita pagi di TV, meletusnya gunung kelud di Yogyakarta. Ada rasa iba yang muncul di hatinya ketika melihat penduduk di sekitar gunung kelud yang mesti mengungsi lalu meninggalkan rumah dan harta benda mereka walaupun itu hanya sementara.

Terbesit di pikiran Nia bagaimana jika musibah ini menimpanya, bisakah ia menghadapinya. Tetapi Nia yakin bahwa Tuhan tidak akan memberi cobaan di luar batas kemampuan hambanya, musibah yang diberikan bukan hanya sebagai ujian kesabaran tetapi sebuah peringatan kepada manusia yang sudah banyak melakukan kerusakan di bumi. Dan juga menguji apakah manusia masih memiliki rasa kepedulian terhadap sesamanya.

Kebetulan teman sekolahnya saat di SMA sedang berada di Yogyakarta, ia pun segera meraih smartphonenya. Menyapa temannya melalui twitter. Dengan cepat Nia mendapat balasan dari temannya itu, ia bersyukur bahwa keadaan temannya baik–baik saja. Tidak ikut mengungsi, tetapi tetap berada di tempat tinggalnya.

Ada hal yang membuatnya menggelengkan kepala ketika melihat timeline twitternya, seseorang mengunggah photo sebuah mobil yang diselimuti oleh debu dan pasir yang begitu tebal lalu di kaca depan mobil tersebut ada lukisan hati dengan tulisan happy valentine day.

“Alaynya gak paham situasi, haha.” Gumamnya menahan tawa memperhatikan photo tersebut.

Ting.

Nia membuka pesan BBM dari Dara, teman sekelasnya. Empat kalimat dari pesan Dara mampu membuat jantungnya berdegup, tangannya bergemetaran, bahkan mengeluarkan keringat. Ia mulai berusaha mengatur napasnya untuk kembali normal, barulah ia mengetik alamat situs web milik kampusnya untuk melihat nilai terakhir di semester ini yang baru saja diunggah.

Tidak secepat yang ia inginkan untuk segera melihat nilainya, ia harus mengikuti prosedur. Mengisi nama pengguna dan password lalu mengikuti beberapa perintah pada website tersebut yang membuatnya semakin penasaran. Lalu di saat detik–detik yang meneggangkan, signal pada smartphonenya melambat, Nia menjadi semakin cemas dan kesal.

Slide yang berisi nilai–nilai sudah muncul. Nia mendekatkan pandangan matanya pada layar 5 inch smartphonenya, layar yang lumayan besar untuk menonton MV boyband korea kesukaannya di handphone. Tapi tidak untuk melihat huruf yang terlihat sekecil semut. Nia pun membesarkan tampilan slidenya sehingga huruf yang tadinya terlihat seperti B+ ternyata adalah D+.

Sebisa mungkin Nia mengontrol emosinya, ia sangat kecewa sekali. Diam tanpa sepatah kata pun, ia terus menangis mengingat apa yang sudah ia lakukan selama satu semester ini. Ia selalu hadir di setiap 16 pertemuan kuliah, ia selalu mengumpulkan tugas tepat waktu, dan ia juga belajar dengan keras sebelum UTS maupun UAS.

***

Hanya satu piring yang masih setengah utuh dengan nasi dan lauk, nia memakannya hanya sedikit. Nia memasukkan sisa–sisa makanan ke dalam tong sampah sebelum mencucinya. Ibunya yang sedang membersihkan meja makan sedari tadi memperhatikan tingkah laku putrinya, Nia yang biasanya selalu mengoceh setiap makan, tapi saat makan ia hanya diam bahkan tidak menghabiskan makan malamnya.

“Nia kamu kenapa? Ada masalah?” Tanya Ibunya seraya mengambil bungkusan kopi di dalam lemari.

“Aku mau berhenti kuliah aja bu.” Jawabnya menatap piring yang ada di genggamannya. Ia melihat bayangan wajahnya, ia menangis lagi. Butiran air matanya jatuh di atas piring yang ia genggam, bercampur dengan busa sabun.

Ibunya mendekatinya, lalu merangkul pundak kecil putrinya itu. “Nia kamu tau semua orang pasti pernah merasakan kegagalan, Ibu tahu apa yang kamu rasakan sekarang. Coba kamu pikirkan perjuangan yang kamu lakukan selama lima semester ini, apa kamu rela? Tinggal tiga semester lagi kamu harus berjuang.” Ucap Ibunya memeluk erat putrinya itu.

“Tapi bu, aku mau masuk pesantren aja. Belajar ilmu agama yang berguna untuk bekal di akhirat. Aku sudah kecewa dengan nilai semester ini bu, semuanya sia- sia.” Keluhnya seraya melepaskan pelukan Ibunya.

“Benar, semua ilmu itu sangat berguna untuk kita. Allah saja menyuruh kita hamba–hambanya untuk menuntut ilmu. Baik ilmu agama maupun ilmu akademi. Tak terkecuali. Ibu sangat bangga, ternyata kamu memiliki niat yang baik untuk memperdalam ilmu agama.” Ujar Ibunya tersenyum. “Kamu boleh kecewa dengan nilai semestermu itu, tapi kamu harus bangkit. Perbaiki lagi disemester depan dengan belajar dari pengalaman.” Nasihat Ibunya mengusap bahu putrinya itu.

Nia mengganguk lalu meneruskan mencuci piring. Ibunya selalu bisa membuat anaknya menjadi lebih tenang. Ya harusnya begitulah seorang Ibu, menenangkan anaknya dengan memberi nasihat yang baik. Tidak menghujat dan menyalahkan saat anaknya mengalami kegagalan.

“Ayah nungguin kopinya loh bu sampe berita di TV sudah habis.” Sahut ayah Nia yang tiba–tiba muncul, ia berjalan mendekati istrinya yang sedang menuangkan bubuk kopi ke dalam cangkir.
“Iya, ini loh yah anakmu mau berhenti kuliah trus mau masuk pesantren.” Ujar Ibu Nia pada suaminya.

Mendegar ucapan Ibunya, Nia berusaha menyangkalnya. “Ah, gak kok yah. Ibu bohong tuh.”

“Oh bagus dong, kapan kamu mau daftar masuk pesantrennya? Biar Ayah tanyain ke ustadz Safri.” Ujar Ayahnya sembari membetulkan posisi peci di atas kepalanya.
“Tapi anakmu ini masih kuliah loh yah, kelarin kuliahnya dulu.”

Ibu Nia menyodorkan kopi yang sudah ia buat kepada suaminya. “Ini kopinya yah, masih anget.”

“Iya Ayah setuju sama Ibu, selesai kuliah juga baik.” Jawab Ayah Nia sembari meniup secangkir kopi yang masih panas. “Belajar yang giat lagi biar cepat wisudanya terus lanjut ke pesantren.” Nasihat Ayahnya sambil berlalu pergi meninggalkan mereka berdua.

Nia hanya diam mendengar percakapan kedua orangtuanya yang mengarah padanya. Ia tidak menolak usul Ibunya tapi malah sebaliknya, ia tersenyum lebar. Sudah lama sekali Nia memiliki keinginan untuk merasakan tinggal di lingkungan pesantren, mendalami ilmu agama islam. Dan salah satu yang ingin ia dapatkan ketika menimba ilmu agama di pesantren, dapat menghafal 30 juz. Selain itu ia juga ingin membagi ilmunya pada muslimah lainnya ketika keluar dari pesantren nantinya.

“Jangan ngelamun, Ayahmu udah setuju tuh kelar kuliah kamu langsung ke pesantren.” Cetus Ibunya.
“Iya bu. Lagian siapa juga yang ngelamun. Aku lagi naruh piring di rak, malah disangka ngelamun.” Bantahnya. “Mending Ibu temanin Ayah nonton tuh, kasihan sendirian.”
“Iya. Jangan lupa lampunya dimatikan, harus hemat. Bulan lalu kita bayar listriknya mahal.” Celoteh Ibunya melangkah pergi.
“Sip, bu.” Jawabnya singkat.

Rasa kantuk yang berat membuat Nia langsung menuju kamarnya setelah selesai mencuci piring. Ia melihat ke arah jam dinding kamarnya yang sudah pukul sembilan.

Nia menyambar smartphonenya, menulis sesuatu di akun twitter miliknya. Aku sudah berada di tangga lima, tiga tangga lagi aku akan mencapai puncak. Pesantren tunggu aku!

Tweet yang ia tulis membuatnya tersenyum, sepertinya ia mulai bisa menerima kegagalannya hari ini. Nia sudah bisa berpikir positif. Rasa kantuk sudah tidak bisa ditahannya, ia meletakkan smartphonenya di meja dan memejamkan matanya untuk tidur.






Cerpen Karangan: Rizka Apriyani Putri
Facebook: Rizka Apriyani Putri

Kerudung Pertamaku

Kerudung Pertamaku
“Nia, bangun nak jam segini kok masih tidur aja, ayo cepat mandi” terdengar suara perempuan yang khas dan merdu dengan penuh kasih sayang membangunkanku dari tempat tidurku yang berselimut kain tebal berwarna pink dengan gambar hello kitty yang tak lain adalah bunda ku, “lima menit lagi bun” balasku dengan mata tertutup, “ayo nak, kalau kamu tidur terus, bisa-bisa ketinggalan shalat subuh loo nak” ucap bundaku dengan menarik selimut tebalku dan mematikan kipas angin yang menemaniku disaat malam, “hah, shalat subuh!” aku langsung beranjak dari tempat tidurku dan meninggalkan bunda di kamarku, seketika ku sergap handukku yang berada di dalam lemariku, setelah itu aku mengguyurkan air dengan gayung yang kudapat atas bakatku, yang telah memenangkan perlombaan bernyanyi di desaku, “Nia, jangan lupa wudlu lho nak!” kata bundaku yang sedang memasak ayam goreng di dapur, yang berada di depan agak ke kiri kamar mandi “iya bun, Nia gak lupa kok” balasku dari dalam kamar mandi.

“Ada sms masuk tolong dibaca” terdengar ringtone handphone ku yang berada di atas meja belajar yang berada di samping kanan lemariku, tapi aku tidak langsung mengambilnya karena aku tidak ingin telat shalat subuh, sehingga aku mengabaikannya untuk beberapa saat dan aku langsung berlari ke mushala kecil yang berada di rumahku tepatnya di depan kamar ku yang dihiasi dengan banyak poster yang berlafadz Allah, “Allahuakbar” aku memulai shalatku dengan bacaan takbir yang kumaknai dalam hati, hingga akhirnya do’a pun kubaca dengan setulus hatiku yang terdalam, aku tadi shalat subuh sendiri karena bunda sudah shalat duluan dan papaku shalat di masjid.

Namun setelah shalat subuh aku lupa kalau tadi ada sms, sehingga aku langsung berpakaian sekolah, dan makan di ruang makan bersama papa dan bundaku. Ada ayam goreng, nasi putih sebakul, sayur bayam, dan juga ada susu coklat kesukaanku di meja makan, sedangkan papa dan bundaku minum jus jeruk setiap harinya, tak lupa air putih juga disajikan di meja makanku, seusai ku makan pagi, aku berpamitan dengan papa dan bundaku “hati-hati di jalan ya” kata bundaku yang selalu diucapkan setiap ku berangkat sekolah, dan aku hanya menganggukkan kepalaku dengan terus berjalan menuju madrasah tercinta yaitu MI Mansyaul Huda, yang jaraknya sangat dekat dengan rumahku, mungkin jika dihitung dengan stopwatch waktu perjalanku kira-kira hanya 5 menit.

Pelajaran pertama hingga terakhir pun berjalan dengan baik dan aku pun mengikutinya dengan hati senang dan gembira bersama teman-temanku, tak lupa setiap jam istirahat anak kelas 5 selalu berkumpul di belakang sekolah yang merupakan markas kecil yang ku temukan ketika masih kelas 3, disana banyak sekali kenangan yang kita buat mulai dari musuhan dan aku nangis disana, menciptakan lagu pramuka, belajar, ngumpet dari guru yang galak, ruang ganti baju olahraga, bahkan pernah terkunci di markas itu bersama-sama, hingga akhirnya orangtua kami ke rumah kepala sekolah, markas yang berada di belakang sekolah itu sebenarnya adalah gudang sekolah yang kami sulap menjadi surga kecil yang begitu nyaman untuk tempat megadukan segala uneg-uneg.

Bel masuk pun berbunyi aku pun keluar dari markas dan masuk ke kelas 5 untuk menerima pelajaran dari guru ku.

“Teeet, teeet, teeeet” bunyi bel pulang sekolah, aku pun pulang ditemani Ani, Ria dan Lida, mereka adalah tetangga-tetanggaku yang juga sekolah di MI Mansyaul Huda dan pulangnya sejalur dengan rumahku.
Setelah pulang sekolah aku shalat dluhur berjamaah dengan bundaku, sedangkan papa, masih bekerja dan bunda selalu mengingatkan papa untuk shalat di masjid dekat kantor papa.

Setelah shalat aku belajar sejenak mungkin 1 jam, untuk membaca, mengerjakan PR dan lain lain, dan setelah itu aku tidur 1 – 2 jam cukup menurutku.

Pukul tiga sore, aku pun bangun dan segera shalat berjamaah dengan bunda dan papaku, papaku sebagai imamnya karena papaku sedang tidak ada tugas, jadi papaku pulang cepet, setelah shalat aku pergi ke rumah kak Sri, dia adalah tetangga ku yang sudah lulus MI dan sekarang sekolah di MAN 2 Gresik, ku lihat wajahnya yang manis ditambah dengan kerudung putih yang bercorak batik yang sedang dipakainya, aku pun bertanya kepada kak Sri “kak, kenapa kakak selalu memakai kerudung dan tidak pernah sepertiku? dengan rambut terurai, dan poni sebagai pemanis, aku yakin kalau kak Sri tidak pakai kerudung, pasti lebih cantik”, “aduh adik cantik, kalau kita mau menjadi seorang muslimah, kita harus memulainya dengan hal-hal kecil, contohnya dengan memakai kerudung, ataupun dengan memakai baju muslimah yang menutup aurat” jawab kak Sri “tapi kan kak, aku sudah shalat 5 waktu, puasa, kurang apa coba?” balasku, namun kak Sri hanya tersenyum dan berkata “besok aja ya, kak Sri jelasin, karena sekarang kak Sri mau ke rumah temen kakak yang sekarang sedang sakit, kakak mau menjenguknya dulu ya Nia!”.

Akhirnya aku pulang ke rumah dengan membawa pertanyaan-pertanyaan yang selalu terngiang-ngiang di benakku, tak sabar menanti pertanyaan dari kak Sri, aku pun bertanya ke bunda “bun, apa setiap muslimah harus” namun belum selesai ku bertanya bunda memotong pembicaraanku dengan berkata “Nia, Handphone kamu ada sms, tadi bunda liat, tapi belum bunda baca, ayo cepat pergi ke kamarmu”.

Seteleah itu aku pun menuruti kata bunda, dan ternyata yang sms aku dari tadi pagi adalah kak Era,

Dari: kak Era
Assalamualaikum. Nia, kak Era mau kasih tau kalau di toko buku kakak ada buku baru, yang berjudul Muslimah Sejati, kamu cepet kesini ya, kakak tunggu nanti jam empat sore.

Untuk: Kak Era
Waalaikum salam, maaf baru bales kak, oke sediain satu untuk Nia ya kak, Nia mau beli satu.
“Ada sms masuk tolong dibaca”, lagi-lagi ringtone itu berbunyi di handphone ku. aku pun membaca sms itu,

Dari: Kak Era
Oke, Nia.

Kutengok jam kecil di tanganku dan ternyata sudah jam empat kurang sepuluh menit, aku pun berlari ke garasi mobilku, tapi aku mau mengambil sepeda kecilku yang berwarna merah yang ditaruh papa di garasi mobilku, tepatnya di sebelah kanan mobil papa, aku menuju toko buku milik kak Era yang berada jauh dari rumahku. sambil bersepeda, aku bicara dalam hati “beruntung aku tadi diberitahu oleh bunda tentang sms dari kak Era, kalau tidak pasti bukunya sudah habis, oh iya… aku belum menyelesaikan pertanyaanku ke bunda, ah, nanti di toko buku mudah-mudahan ada yang cocok dengan pertanyaanku, sehingga aku tidak perlu mencari tau ke bunda ataupun menunggu jawaban dari kak Sri”

Sesampainya di sana ku menyapa kak Era “Assalamualaikum kak, oh iya kak dimana tempat buku yang kakak kasih tau ke aku tadi?” kak Era pun menjawabnya “di tempat buku baru biasanya lo dek, kamu tinggal belok ke..” aku pun langsung memotong perkataan kak Era “Kiri, lalu ke depan sedikit dan bukunya ada di sebelah novel, lalu ada tulisan BUKU BARU, iya kan?” tanyaku dengan sedikit meledek kak Era, “hehehe Nia sekarang udah hafal tempat-tempat yang ada di toko buku kakak” aku pun tertawa sejenak dengan kak Era, setelah itu aku mulai berjalan menghampiri buku itu, dan kubaca dari halaman ke halaman sampai bukunya ludes ku baca, dan tak kusangka ada jawaban dari semua pertanyaanku yang belum selesai bertanya ke bunda dan jawaban yang kutunggu dari kak Sri, bahwa sebenarnya berkerudung itu sudah ada sejak zaman Nabi Muhammad SAW, dan bagi seorang muslimah awal seperti yang dibilang kak Sri harus melakukan hal yang kecil dahulu, yaitu dengan menutup aurat, semisal memakai kerudung atau yang lainnya dan jika kita tidak menutup aurat namun sudah melakukan shalat 5 waktu dan lain lain, itu sama halnya kita berbohong kepada orang lain.

Keesokan harinya aku mulai dan menganti penampilanku dengan memakai kerudung dan pakaian muslimah.
Entah kenapa setelah aku memakai kerudung, aku merasa lebih aman dan tentram, meskipun awal-awal ku memakai kerudung, aku agak risih, namun akhirnya aku bisa dan terbiasa, sehingga di kelas 5 ini adalah awal dari aku ‘Nia Dwi Sulistyo’ memakai kerudung.
“Terima kasih ya allah sudah membuka hatiku sehingga aku mau memakai kerudung” itulah do’a yang selalu ku selipkan di setiap shalatku.







Cerpen Karangan: Putri Lestari
Facebook: putriclalu.ctia.14.facebook.com