Tiga Tangga Menuju Pesantren




Beberapa nilai hasil ujian semester lima sudah keluar. Nia begitu antusias menantikannya terlebih lagi hari ini adalah hari terakhir dosen menggungah nilai mahasiswa ke dalam situs yang dapat diakses oleh mahasiswa di kampusnya.

Meski Nia tampak santai menonton acara TV kesukaannya, tapi hatinya sangat gelisah. Ia sedang mengkhawatirkan sesuatu yang sudah jauh–jauh hari ia takutkan. Ia tidak begitu memperhatikan TV yang sedang menyala, tangannya gemetaran menggengam smartphone miliknya. Sesekali ia mendengus kesal sembari menggerakkan jarinya pada layar smartphonenya.

“Kenapa nilai yang satu ini belum juga keluar–keluar sih?!”

Kali ini ia tidak mempedulikan lagi smartphonenya, ia meletakkannya di atas meja. Perhatiannya sekarang kembali terfokus pada berita pagi di TV, meletusnya gunung kelud di Yogyakarta. Ada rasa iba yang muncul di hatinya ketika melihat penduduk di sekitar gunung kelud yang mesti mengungsi lalu meninggalkan rumah dan harta benda mereka walaupun itu hanya sementara.

Terbesit di pikiran Nia bagaimana jika musibah ini menimpanya, bisakah ia menghadapinya. Tetapi Nia yakin bahwa Tuhan tidak akan memberi cobaan di luar batas kemampuan hambanya, musibah yang diberikan bukan hanya sebagai ujian kesabaran tetapi sebuah peringatan kepada manusia yang sudah banyak melakukan kerusakan di bumi. Dan juga menguji apakah manusia masih memiliki rasa kepedulian terhadap sesamanya.

Kebetulan teman sekolahnya saat di SMA sedang berada di Yogyakarta, ia pun segera meraih smartphonenya. Menyapa temannya melalui twitter. Dengan cepat Nia mendapat balasan dari temannya itu, ia bersyukur bahwa keadaan temannya baik–baik saja. Tidak ikut mengungsi, tetapi tetap berada di tempat tinggalnya.

Ada hal yang membuatnya menggelengkan kepala ketika melihat timeline twitternya, seseorang mengunggah photo sebuah mobil yang diselimuti oleh debu dan pasir yang begitu tebal lalu di kaca depan mobil tersebut ada lukisan hati dengan tulisan happy valentine day.

“Alaynya gak paham situasi, haha.” Gumamnya menahan tawa memperhatikan photo tersebut.

Ting.

Nia membuka pesan BBM dari Dara, teman sekelasnya. Empat kalimat dari pesan Dara mampu membuat jantungnya berdegup, tangannya bergemetaran, bahkan mengeluarkan keringat. Ia mulai berusaha mengatur napasnya untuk kembali normal, barulah ia mengetik alamat situs web milik kampusnya untuk melihat nilai terakhir di semester ini yang baru saja diunggah.

Tidak secepat yang ia inginkan untuk segera melihat nilainya, ia harus mengikuti prosedur. Mengisi nama pengguna dan password lalu mengikuti beberapa perintah pada website tersebut yang membuatnya semakin penasaran. Lalu di saat detik–detik yang meneggangkan, signal pada smartphonenya melambat, Nia menjadi semakin cemas dan kesal.

Slide yang berisi nilai–nilai sudah muncul. Nia mendekatkan pandangan matanya pada layar 5 inch smartphonenya, layar yang lumayan besar untuk menonton MV boyband korea kesukaannya di handphone. Tapi tidak untuk melihat huruf yang terlihat sekecil semut. Nia pun membesarkan tampilan slidenya sehingga huruf yang tadinya terlihat seperti B+ ternyata adalah D+.

Sebisa mungkin Nia mengontrol emosinya, ia sangat kecewa sekali. Diam tanpa sepatah kata pun, ia terus menangis mengingat apa yang sudah ia lakukan selama satu semester ini. Ia selalu hadir di setiap 16 pertemuan kuliah, ia selalu mengumpulkan tugas tepat waktu, dan ia juga belajar dengan keras sebelum UTS maupun UAS.

***

Hanya satu piring yang masih setengah utuh dengan nasi dan lauk, nia memakannya hanya sedikit. Nia memasukkan sisa–sisa makanan ke dalam tong sampah sebelum mencucinya. Ibunya yang sedang membersihkan meja makan sedari tadi memperhatikan tingkah laku putrinya, Nia yang biasanya selalu mengoceh setiap makan, tapi saat makan ia hanya diam bahkan tidak menghabiskan makan malamnya.

“Nia kamu kenapa? Ada masalah?” Tanya Ibunya seraya mengambil bungkusan kopi di dalam lemari.

“Aku mau berhenti kuliah aja bu.” Jawabnya menatap piring yang ada di genggamannya. Ia melihat bayangan wajahnya, ia menangis lagi. Butiran air matanya jatuh di atas piring yang ia genggam, bercampur dengan busa sabun.

Ibunya mendekatinya, lalu merangkul pundak kecil putrinya itu. “Nia kamu tau semua orang pasti pernah merasakan kegagalan, Ibu tahu apa yang kamu rasakan sekarang. Coba kamu pikirkan perjuangan yang kamu lakukan selama lima semester ini, apa kamu rela? Tinggal tiga semester lagi kamu harus berjuang.” Ucap Ibunya memeluk erat putrinya itu.

“Tapi bu, aku mau masuk pesantren aja. Belajar ilmu agama yang berguna untuk bekal di akhirat. Aku sudah kecewa dengan nilai semester ini bu, semuanya sia- sia.” Keluhnya seraya melepaskan pelukan Ibunya.

“Benar, semua ilmu itu sangat berguna untuk kita. Allah saja menyuruh kita hamba–hambanya untuk menuntut ilmu. Baik ilmu agama maupun ilmu akademi. Tak terkecuali. Ibu sangat bangga, ternyata kamu memiliki niat yang baik untuk memperdalam ilmu agama.” Ujar Ibunya tersenyum. “Kamu boleh kecewa dengan nilai semestermu itu, tapi kamu harus bangkit. Perbaiki lagi disemester depan dengan belajar dari pengalaman.” Nasihat Ibunya mengusap bahu putrinya itu.

Nia mengganguk lalu meneruskan mencuci piring. Ibunya selalu bisa membuat anaknya menjadi lebih tenang. Ya harusnya begitulah seorang Ibu, menenangkan anaknya dengan memberi nasihat yang baik. Tidak menghujat dan menyalahkan saat anaknya mengalami kegagalan.

“Ayah nungguin kopinya loh bu sampe berita di TV sudah habis.” Sahut ayah Nia yang tiba–tiba muncul, ia berjalan mendekati istrinya yang sedang menuangkan bubuk kopi ke dalam cangkir.
“Iya, ini loh yah anakmu mau berhenti kuliah trus mau masuk pesantren.” Ujar Ibu Nia pada suaminya.

Mendegar ucapan Ibunya, Nia berusaha menyangkalnya. “Ah, gak kok yah. Ibu bohong tuh.”

“Oh bagus dong, kapan kamu mau daftar masuk pesantrennya? Biar Ayah tanyain ke ustadz Safri.” Ujar Ayahnya sembari membetulkan posisi peci di atas kepalanya.
“Tapi anakmu ini masih kuliah loh yah, kelarin kuliahnya dulu.”

Ibu Nia menyodorkan kopi yang sudah ia buat kepada suaminya. “Ini kopinya yah, masih anget.”

“Iya Ayah setuju sama Ibu, selesai kuliah juga baik.” Jawab Ayah Nia sembari meniup secangkir kopi yang masih panas. “Belajar yang giat lagi biar cepat wisudanya terus lanjut ke pesantren.” Nasihat Ayahnya sambil berlalu pergi meninggalkan mereka berdua.

Nia hanya diam mendengar percakapan kedua orangtuanya yang mengarah padanya. Ia tidak menolak usul Ibunya tapi malah sebaliknya, ia tersenyum lebar. Sudah lama sekali Nia memiliki keinginan untuk merasakan tinggal di lingkungan pesantren, mendalami ilmu agama islam. Dan salah satu yang ingin ia dapatkan ketika menimba ilmu agama di pesantren, dapat menghafal 30 juz. Selain itu ia juga ingin membagi ilmunya pada muslimah lainnya ketika keluar dari pesantren nantinya.

“Jangan ngelamun, Ayahmu udah setuju tuh kelar kuliah kamu langsung ke pesantren.” Cetus Ibunya.
“Iya bu. Lagian siapa juga yang ngelamun. Aku lagi naruh piring di rak, malah disangka ngelamun.” Bantahnya. “Mending Ibu temanin Ayah nonton tuh, kasihan sendirian.”
“Iya. Jangan lupa lampunya dimatikan, harus hemat. Bulan lalu kita bayar listriknya mahal.” Celoteh Ibunya melangkah pergi.
“Sip, bu.” Jawabnya singkat.

Rasa kantuk yang berat membuat Nia langsung menuju kamarnya setelah selesai mencuci piring. Ia melihat ke arah jam dinding kamarnya yang sudah pukul sembilan.

Nia menyambar smartphonenya, menulis sesuatu di akun twitter miliknya. Aku sudah berada di tangga lima, tiga tangga lagi aku akan mencapai puncak. Pesantren tunggu aku!

Tweet yang ia tulis membuatnya tersenyum, sepertinya ia mulai bisa menerima kegagalannya hari ini. Nia sudah bisa berpikir positif. Rasa kantuk sudah tidak bisa ditahannya, ia meletakkan smartphonenya di meja dan memejamkan matanya untuk tidur.






Cerpen Karangan: Rizka Apriyani Putri
Facebook: Rizka Apriyani Putri

Share this

Related Posts

Previous
Next Post »