Bukan Kamu Yang Dulu

Aku melihatnya. Gadis bertubuh atletis dengan rambut panjang yang diikat satu di tengah dan dengan hidung mancungnya, menggunakan celana jeans ketat dan baju kaos berlengan pendek berwarna hitam yang juga ketat.
Dia melihatku, lalu mengalihkan pandangannya. Terus seperti itu. Sedangkan aku terus menatapnya tanpa mengalihkan pandangan kemanapun. Apa dia tidak berani menatapku? Aku ingin sekali bicara kepadanya bahwa kamu bukan yang dulu yang pernah kukenal. Ingin sekali aku berteriak di telinganya bahwa Kamu berubah. Benar-benar berubah.
Kemana jilbab yang selalu kamu pakai untuk menutupi auratmu?
kemana baju panjang yang selalu kamu pakai untuk menutupi auratmu?
kemana rok panjang yang selalu kamu pakai untuk menutupi auratmu?
kemana kamu yang dulu? Yang selalu menggunakan pakaian sopan, menjaga gaya berbicara, yang selalu pergi mengaji bersamaku? Apa kamu tahu bahwa aku merindukan kamu yang dulu?
Dulu kita sangat dekat hingga kemanapun kamu pergi aku ikut, tapi sekarang kita seperti tidak pernah kenal. Jika bertemu pun paling cuman tersenyum, tidak ada yang lain.

“Ngeliatin dia mulu, kenapa sih? Masih gak terima kalo Dea udah berubah?” suara Anna berhasil mengalihkan pandanganku kepadanya. Gadis dengan jilbab berwarna putih itu tahu semua tentang Dea. Aku tidak menjawab pertanyaannya karena apa yang Anna katakan memang benar, aku masih belum menerima yang terjadi pada sahabatku.

Kita sedang ada di koridor kelas, sebentar lagi Dea dan teman-temannya akan tampil Dance. Makannya dia menggunakan pakaian bebas sedangkan aku menggunakan baju seragam sekolah Smp karena aku dan teman-temanku sudah tampil terlebih dahulu.

“Udahlah, kamu sabar aja, mungkin dia akan berubah lagi kaya dulu,”
“Amin, semoga aja,” jawabku.

Setelah bel tanda pulang berbunyi dan guru mata pelajaran sudah ke luar kelas, tanpa menunggu aba-aba lagi aku langsung mengambil tas dan pulang ke rumah. Aku ingin tidur siang, dari kemarin kerja kelompok tidak pernah terlewat, sekaranglah waktunya untuk beristirahat.
“Amel! Tunggu!” Teriakan seseorang menghentikan langkahku. Anna.
“Kenapa?”
“Pulang bareng yuk?” aku hanya tersenyum dan mengangguk, pertanda setuju dengan ajakan Anna.

Pandanganku tiba-tiba teralih pada sekumpulan siswa wanita yang sedang bercanda ria di depan gerbang sekolah. Dan salah satu dari mereka ada seseorang yang sangat kukenal, Dea. Aku tidak heran melihatnya berkumpul dengan para siswa yang terkenal di sekolah. Pergaulannya sudah berubah, beda sekali dengan dulu yang selalu berkumpul dengan Majelis Ta’lim.
Dia sempat melihatku, lalu mengalihkan pandangannya. Kebiasaan.

Sesampainya di rumah aku langsung menuju kamar, mengganti baju dan menunaikan salat zuhur, lalu berbaring di atas kasur menatap langit-langit kamarku.

Dea..
tiba-tiba pikiranku tertuju pada Dea, teman pertamaku. Melihat dia menari di depan banyak orang dengan baju ketatnya yang memperlihatkan lekuk tubuhnya, aku ingin menangis saat itu juga, ingin sekali ku tarik dia pergi dari podium lalu memberitahu bahwa apa yang dia lakukan itu salah, akan ku berikan jilbab kepadanya supaya dia bisa seperti dulu. Tapi apa mungkin? Kenyataannya aku hanya diam memperhatikannya, aku tidak berani menariknya pergi dari podium karena pasti dia akan sangat malu dan akan marah padaku. Jadi aku hanya diam. Seperti tidak pernah mengenalnya, kalau bertemu pun aku memalingkan muka. Kenapa? Karena aku tidak mau dia malu di depan teman-temannya bahwa dia pernah berteman denganku, aku tidak mau dia malu di depan teman-temannya kalau dia punya teman sepertiku, makannya aku menjauh dari kehidupannya. Apa aku sombong? Mungkin saja karena itu semua hanya untuk membuat Dea tidak malu terhadap teman-temannya.
Mataku basah. Dan kuyakin aku pasti menangis. Kuhela napas lalu memeluk guling di sampingku.
“Aku harap kamu tidak malu berteman denganku, Dea.” bisikku entah pada siapa.
Tak lama aku pun tertidur.

Kubuka mata dengan cepat, lalu melihat jam di dinding. Jam 3. Ya ampun, apa yang baru aku impikan? Aku berpelukan dengan Dea, lalu dia meminta maaf kepadaku dan berjanji akan kembali seperti dulu lagi, semua itu seperti sangat nyata. Tanpa sadar aku menyunggingkan senyum kecil. Apa mungkin ini pertanda bahwa Dea akan kembali seperti dulu? Aku harap begitu.

Dea… aku menunggumu.

Selesai.





Cerpen Karangan: Amelia
Facebook: Illa amelia

Share this

Related Posts

Previous
Next Post »