Tampilkan postingan dengan label islami. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label islami. Tampilkan semua postingan

Tuhan, Dengar Aku

Tuhan, Dengar Aku




Aku memaksakan kedua mataku terbuka. Melawan bisik-bisik halus untuk tetap terlelap di sepertiga malamnya. Jika saja bukan karena sebuah kewajiban dan keharusan bagiku, selimut tebal itu tentu akan ku tarik kembali. Membiarkannya membalut tubuhku, melanjutkan lagi mimpi yang terhenti.

Tubuhku bergidik. Dibasuhi air wudu yang menjalar masuk ke dalam pori-pori tubuhku. Pagi ini, ku dirikan lagi dua rakaat bersama rintih keluh dalam sujudnya. Ada perasaan kalut dalam diriku. Dalam hati, aku merindukan sosok imam dalam salatku, dan satu bidadari cantik dalam hidupku. Yah, ibu dan bapak. Dua malaikat dalam hidupku.

Rasanya sudah lama sekali aku tidak mencium tangan bapak. Bahkan untuk senyum pun hampir tak pernah aku dapatkan lagi dari bibirnya. Ia hanya akan ada di rumah jika matanya mulai lelah. 10 menit lagi adzan subuh berkumandang. Aku bergegas menuju kamar bapak. Sedikit mengguncangkan tubuhnya, aku berbisik. Meskipun aku tahu bapak tak akan mampu mengerti bahasa tubuhku. Bapak berontak. Matanya seolah berbicara bahwa ia tak ingin ada aku di hadapannya. Aku berusaha berbicara dengan bahasa tanganku agar bapak mengerti.

“Apa? Salat? Apa dengan salat bisa membuat kita kaya raya lagi? Berdoa saja sana! Sampai air matamu habis pun Tuhan tidak akan pernah mendengar doa orang bisu sepertimu!”

Aku terduduk lemas. Lagi-lagi bapak meninggalkan aku dengan sejuta kata hina yang begitu menyayat hati. Perlahan air mataku mulai jatuh. Aku menangis. Aku terbangun, ketika menyadari cahaya matahari yang masuk menyilaukan kedua mataku dari balik jendela. Aku melirik jam dinding. Pukul 09.00. Aku harus menengok ibu digudang. Ia akan berontak jika perutnya terasa lapar. Namun syukurlah, ia masih terlelap bersama peluhnya.

Melihat tubuhnya terkulai lemah dengan pasung di kedua kakinya, aku jadi merasa benci pada diriku. Jika saja kejadian 3 bulan lalu tak pernah terjadi akibat kebodohanku, mungkin ayah akan tetap jadi ayah yang berjuang paruh waktu demi perusahaan yang menjadi cita-cita terbesarnya. Dan ibu akan tetap jadi ibu yang ceria dengan sifat periangnya. Dan aku, akan tetap jadi aku yang sempurna karena kehadiran kedua orangtuaku, meskipun keterbatasan bersarang dalam diriku sejak aku terlahir.

Aku masih ingat jelas. Sore itu hujan deras. Listrik di sekitar perumahanku padam. Ibu belum kembali sejak tadi sore mengantar cupcake pesanan para tetangga. Sedangkan bapak seperti biasa. Pulang larut malam saat kami terlelap di alam bawah sadar. Aku hanya berdua dengan Bi Surti. Asisten rumah tagga di rumahku. Bi Surti menghampiriku dan menyalakan sebuah lilin untukku. “Lala tunggu di sini sebentar tidak apa-apa ya? Lagi pula sudah ada lilin, jadi Lala tidak akan merasa gelap. Bi Surti mau menjemput Ibu di rumah Bu Midah,” Bi Surti tersenyum. Aku mengangguk.

Aku benci saat dunia mulai gelap. Apalagi jika listrik ikut-ikutan padam. Ku rebahkan tubuhku di atas kasur lantai. Aku menarik selimut agar tubuhku terbalut sempurna. Namun, ujung selimut itu menyenggol lilin di sampingku. Aku baru menyadari saat hawa panas menjalar melahap sebagian selimut yang tengah ku kenakan. Aku terlonjak. Api itu menyambar tubuhku. Aku mengeluarkan baju-bajuku dari lemari, dan melemparkannya ke arah kobaran api.

Namun api semakin besar dan memakan setiap benda dalam rumahku. Aku ingin berteriak, namun pita suaraku lemah. Dan setelah itu, gelap. Entah, aku tidak mengingat apa-apa lagi. Aku berada di rumah sakit saat mataku terbuka. Tidak ada ibu, bapak, ataupun Bi Surti. Aku berusaha mengingat apa yang baru saja terjadi padaku. Tiba-tiba pintu terbuka. Aku melihat sosok ibu di sana. Matanya sembab. Tangannya gemetar hebat. Dan itu bapak. Wajahnya merah menahan marah. Aku menangis, dan satu tamparan kecil mendarat di pipi kiriku.



Aku hanya dua hari berada di rumah sakit. Meskipun luka bakar dalam tubuhku masih sangat membuatku kesakitan. Ibu bilang bapak tak mampu membayar biaya rumah sakit lagi. Perusahaan bapak bangkrut. Arsip-arsip dan surat-surat penting habis terbakar. Kerja samanya dengan perusahaan lain pun dibatalkan. Hutang bapak menumpuk. Tanah pun terpaksa bapak jual. Rumah kami tak menyisakan satu barang pun, selain tembok-tembok gosong. Aku mengerti mengapa bapak semarah itu padaku.

Aku rasa bapak telah di luar batas kesabarannya. Perusahaan yang bapak elu-elukkan kini telah gagal. Dan ibulah yang menjadi kambing hitamnya. Bapak memasung ibu di gudang dengan seribu halusinasi dalam 3 bulan terakhir ini. Bapak bilang ibu tidak bisa mendidik aku dengan baik. Dan aku hanyalah benalu dalam hidupnya. Aku menjerit dalam hati. Aku benci diriku. Aku benci kekuranganku. Aku ingin ibu dan bapak mendengar suaraku.

Arrrggghhtt!!!

Aku menangis sejadi-jadinya sampai ibu terbangun. Lantas ibu menatapku dan memelukku hangat. Ibu tersenyum. Kemudian berbisik, “Allah mendengarmu Nak. Allah mendengar kita. Allah bersama kita.” Aku menangis memeluk ibu. Dalam hati aku membenarkan kata-kata ibu. Aku tak seharusnya membenci atas apa yang menjadi takdir Tuhan dalam hidupku. Bapak tak mampu mendengarku, begitu pun ibu. Tapi Tuhan mampu. Tuhan bersamaku. Tuhan, dengar aku.








Cerpen Karangan: Riska Desinta Putri
Facebook: Riska Desinta Putri

Tiga Tangga Menuju Pesantren

Tiga Tangga Menuju Pesantren



Beberapa nilai hasil ujian semester lima sudah keluar. Nia begitu antusias menantikannya terlebih lagi hari ini adalah hari terakhir dosen menggungah nilai mahasiswa ke dalam situs yang dapat diakses oleh mahasiswa di kampusnya.

Meski Nia tampak santai menonton acara TV kesukaannya, tapi hatinya sangat gelisah. Ia sedang mengkhawatirkan sesuatu yang sudah jauh–jauh hari ia takutkan. Ia tidak begitu memperhatikan TV yang sedang menyala, tangannya gemetaran menggengam smartphone miliknya. Sesekali ia mendengus kesal sembari menggerakkan jarinya pada layar smartphonenya.

“Kenapa nilai yang satu ini belum juga keluar–keluar sih?!”

Kali ini ia tidak mempedulikan lagi smartphonenya, ia meletakkannya di atas meja. Perhatiannya sekarang kembali terfokus pada berita pagi di TV, meletusnya gunung kelud di Yogyakarta. Ada rasa iba yang muncul di hatinya ketika melihat penduduk di sekitar gunung kelud yang mesti mengungsi lalu meninggalkan rumah dan harta benda mereka walaupun itu hanya sementara.

Terbesit di pikiran Nia bagaimana jika musibah ini menimpanya, bisakah ia menghadapinya. Tetapi Nia yakin bahwa Tuhan tidak akan memberi cobaan di luar batas kemampuan hambanya, musibah yang diberikan bukan hanya sebagai ujian kesabaran tetapi sebuah peringatan kepada manusia yang sudah banyak melakukan kerusakan di bumi. Dan juga menguji apakah manusia masih memiliki rasa kepedulian terhadap sesamanya.

Kebetulan teman sekolahnya saat di SMA sedang berada di Yogyakarta, ia pun segera meraih smartphonenya. Menyapa temannya melalui twitter. Dengan cepat Nia mendapat balasan dari temannya itu, ia bersyukur bahwa keadaan temannya baik–baik saja. Tidak ikut mengungsi, tetapi tetap berada di tempat tinggalnya.

Ada hal yang membuatnya menggelengkan kepala ketika melihat timeline twitternya, seseorang mengunggah photo sebuah mobil yang diselimuti oleh debu dan pasir yang begitu tebal lalu di kaca depan mobil tersebut ada lukisan hati dengan tulisan happy valentine day.

“Alaynya gak paham situasi, haha.” Gumamnya menahan tawa memperhatikan photo tersebut.

Ting.

Nia membuka pesan BBM dari Dara, teman sekelasnya. Empat kalimat dari pesan Dara mampu membuat jantungnya berdegup, tangannya bergemetaran, bahkan mengeluarkan keringat. Ia mulai berusaha mengatur napasnya untuk kembali normal, barulah ia mengetik alamat situs web milik kampusnya untuk melihat nilai terakhir di semester ini yang baru saja diunggah.

Tidak secepat yang ia inginkan untuk segera melihat nilainya, ia harus mengikuti prosedur. Mengisi nama pengguna dan password lalu mengikuti beberapa perintah pada website tersebut yang membuatnya semakin penasaran. Lalu di saat detik–detik yang meneggangkan, signal pada smartphonenya melambat, Nia menjadi semakin cemas dan kesal.

Slide yang berisi nilai–nilai sudah muncul. Nia mendekatkan pandangan matanya pada layar 5 inch smartphonenya, layar yang lumayan besar untuk menonton MV boyband korea kesukaannya di handphone. Tapi tidak untuk melihat huruf yang terlihat sekecil semut. Nia pun membesarkan tampilan slidenya sehingga huruf yang tadinya terlihat seperti B+ ternyata adalah D+.

Sebisa mungkin Nia mengontrol emosinya, ia sangat kecewa sekali. Diam tanpa sepatah kata pun, ia terus menangis mengingat apa yang sudah ia lakukan selama satu semester ini. Ia selalu hadir di setiap 16 pertemuan kuliah, ia selalu mengumpulkan tugas tepat waktu, dan ia juga belajar dengan keras sebelum UTS maupun UAS.

***

Hanya satu piring yang masih setengah utuh dengan nasi dan lauk, nia memakannya hanya sedikit. Nia memasukkan sisa–sisa makanan ke dalam tong sampah sebelum mencucinya. Ibunya yang sedang membersihkan meja makan sedari tadi memperhatikan tingkah laku putrinya, Nia yang biasanya selalu mengoceh setiap makan, tapi saat makan ia hanya diam bahkan tidak menghabiskan makan malamnya.

“Nia kamu kenapa? Ada masalah?” Tanya Ibunya seraya mengambil bungkusan kopi di dalam lemari.

“Aku mau berhenti kuliah aja bu.” Jawabnya menatap piring yang ada di genggamannya. Ia melihat bayangan wajahnya, ia menangis lagi. Butiran air matanya jatuh di atas piring yang ia genggam, bercampur dengan busa sabun.

Ibunya mendekatinya, lalu merangkul pundak kecil putrinya itu. “Nia kamu tau semua orang pasti pernah merasakan kegagalan, Ibu tahu apa yang kamu rasakan sekarang. Coba kamu pikirkan perjuangan yang kamu lakukan selama lima semester ini, apa kamu rela? Tinggal tiga semester lagi kamu harus berjuang.” Ucap Ibunya memeluk erat putrinya itu.

“Tapi bu, aku mau masuk pesantren aja. Belajar ilmu agama yang berguna untuk bekal di akhirat. Aku sudah kecewa dengan nilai semester ini bu, semuanya sia- sia.” Keluhnya seraya melepaskan pelukan Ibunya.

“Benar, semua ilmu itu sangat berguna untuk kita. Allah saja menyuruh kita hamba–hambanya untuk menuntut ilmu. Baik ilmu agama maupun ilmu akademi. Tak terkecuali. Ibu sangat bangga, ternyata kamu memiliki niat yang baik untuk memperdalam ilmu agama.” Ujar Ibunya tersenyum. “Kamu boleh kecewa dengan nilai semestermu itu, tapi kamu harus bangkit. Perbaiki lagi disemester depan dengan belajar dari pengalaman.” Nasihat Ibunya mengusap bahu putrinya itu.

Nia mengganguk lalu meneruskan mencuci piring. Ibunya selalu bisa membuat anaknya menjadi lebih tenang. Ya harusnya begitulah seorang Ibu, menenangkan anaknya dengan memberi nasihat yang baik. Tidak menghujat dan menyalahkan saat anaknya mengalami kegagalan.

“Ayah nungguin kopinya loh bu sampe berita di TV sudah habis.” Sahut ayah Nia yang tiba–tiba muncul, ia berjalan mendekati istrinya yang sedang menuangkan bubuk kopi ke dalam cangkir.
“Iya, ini loh yah anakmu mau berhenti kuliah trus mau masuk pesantren.” Ujar Ibu Nia pada suaminya.

Mendegar ucapan Ibunya, Nia berusaha menyangkalnya. “Ah, gak kok yah. Ibu bohong tuh.”

“Oh bagus dong, kapan kamu mau daftar masuk pesantrennya? Biar Ayah tanyain ke ustadz Safri.” Ujar Ayahnya sembari membetulkan posisi peci di atas kepalanya.
“Tapi anakmu ini masih kuliah loh yah, kelarin kuliahnya dulu.”

Ibu Nia menyodorkan kopi yang sudah ia buat kepada suaminya. “Ini kopinya yah, masih anget.”

“Iya Ayah setuju sama Ibu, selesai kuliah juga baik.” Jawab Ayah Nia sembari meniup secangkir kopi yang masih panas. “Belajar yang giat lagi biar cepat wisudanya terus lanjut ke pesantren.” Nasihat Ayahnya sambil berlalu pergi meninggalkan mereka berdua.

Nia hanya diam mendengar percakapan kedua orangtuanya yang mengarah padanya. Ia tidak menolak usul Ibunya tapi malah sebaliknya, ia tersenyum lebar. Sudah lama sekali Nia memiliki keinginan untuk merasakan tinggal di lingkungan pesantren, mendalami ilmu agama islam. Dan salah satu yang ingin ia dapatkan ketika menimba ilmu agama di pesantren, dapat menghafal 30 juz. Selain itu ia juga ingin membagi ilmunya pada muslimah lainnya ketika keluar dari pesantren nantinya.

“Jangan ngelamun, Ayahmu udah setuju tuh kelar kuliah kamu langsung ke pesantren.” Cetus Ibunya.
“Iya bu. Lagian siapa juga yang ngelamun. Aku lagi naruh piring di rak, malah disangka ngelamun.” Bantahnya. “Mending Ibu temanin Ayah nonton tuh, kasihan sendirian.”
“Iya. Jangan lupa lampunya dimatikan, harus hemat. Bulan lalu kita bayar listriknya mahal.” Celoteh Ibunya melangkah pergi.
“Sip, bu.” Jawabnya singkat.

Rasa kantuk yang berat membuat Nia langsung menuju kamarnya setelah selesai mencuci piring. Ia melihat ke arah jam dinding kamarnya yang sudah pukul sembilan.

Nia menyambar smartphonenya, menulis sesuatu di akun twitter miliknya. Aku sudah berada di tangga lima, tiga tangga lagi aku akan mencapai puncak. Pesantren tunggu aku!

Tweet yang ia tulis membuatnya tersenyum, sepertinya ia mulai bisa menerima kegagalannya hari ini. Nia sudah bisa berpikir positif. Rasa kantuk sudah tidak bisa ditahannya, ia meletakkan smartphonenya di meja dan memejamkan matanya untuk tidur.






Cerpen Karangan: Rizka Apriyani Putri
Facebook: Rizka Apriyani Putri

Kerudung Pertamaku

Kerudung Pertamaku
“Nia, bangun nak jam segini kok masih tidur aja, ayo cepat mandi” terdengar suara perempuan yang khas dan merdu dengan penuh kasih sayang membangunkanku dari tempat tidurku yang berselimut kain tebal berwarna pink dengan gambar hello kitty yang tak lain adalah bunda ku, “lima menit lagi bun” balasku dengan mata tertutup, “ayo nak, kalau kamu tidur terus, bisa-bisa ketinggalan shalat subuh loo nak” ucap bundaku dengan menarik selimut tebalku dan mematikan kipas angin yang menemaniku disaat malam, “hah, shalat subuh!” aku langsung beranjak dari tempat tidurku dan meninggalkan bunda di kamarku, seketika ku sergap handukku yang berada di dalam lemariku, setelah itu aku mengguyurkan air dengan gayung yang kudapat atas bakatku, yang telah memenangkan perlombaan bernyanyi di desaku, “Nia, jangan lupa wudlu lho nak!” kata bundaku yang sedang memasak ayam goreng di dapur, yang berada di depan agak ke kiri kamar mandi “iya bun, Nia gak lupa kok” balasku dari dalam kamar mandi.

“Ada sms masuk tolong dibaca” terdengar ringtone handphone ku yang berada di atas meja belajar yang berada di samping kanan lemariku, tapi aku tidak langsung mengambilnya karena aku tidak ingin telat shalat subuh, sehingga aku mengabaikannya untuk beberapa saat dan aku langsung berlari ke mushala kecil yang berada di rumahku tepatnya di depan kamar ku yang dihiasi dengan banyak poster yang berlafadz Allah, “Allahuakbar” aku memulai shalatku dengan bacaan takbir yang kumaknai dalam hati, hingga akhirnya do’a pun kubaca dengan setulus hatiku yang terdalam, aku tadi shalat subuh sendiri karena bunda sudah shalat duluan dan papaku shalat di masjid.

Namun setelah shalat subuh aku lupa kalau tadi ada sms, sehingga aku langsung berpakaian sekolah, dan makan di ruang makan bersama papa dan bundaku. Ada ayam goreng, nasi putih sebakul, sayur bayam, dan juga ada susu coklat kesukaanku di meja makan, sedangkan papa dan bundaku minum jus jeruk setiap harinya, tak lupa air putih juga disajikan di meja makanku, seusai ku makan pagi, aku berpamitan dengan papa dan bundaku “hati-hati di jalan ya” kata bundaku yang selalu diucapkan setiap ku berangkat sekolah, dan aku hanya menganggukkan kepalaku dengan terus berjalan menuju madrasah tercinta yaitu MI Mansyaul Huda, yang jaraknya sangat dekat dengan rumahku, mungkin jika dihitung dengan stopwatch waktu perjalanku kira-kira hanya 5 menit.

Pelajaran pertama hingga terakhir pun berjalan dengan baik dan aku pun mengikutinya dengan hati senang dan gembira bersama teman-temanku, tak lupa setiap jam istirahat anak kelas 5 selalu berkumpul di belakang sekolah yang merupakan markas kecil yang ku temukan ketika masih kelas 3, disana banyak sekali kenangan yang kita buat mulai dari musuhan dan aku nangis disana, menciptakan lagu pramuka, belajar, ngumpet dari guru yang galak, ruang ganti baju olahraga, bahkan pernah terkunci di markas itu bersama-sama, hingga akhirnya orangtua kami ke rumah kepala sekolah, markas yang berada di belakang sekolah itu sebenarnya adalah gudang sekolah yang kami sulap menjadi surga kecil yang begitu nyaman untuk tempat megadukan segala uneg-uneg.

Bel masuk pun berbunyi aku pun keluar dari markas dan masuk ke kelas 5 untuk menerima pelajaran dari guru ku.

“Teeet, teeet, teeeet” bunyi bel pulang sekolah, aku pun pulang ditemani Ani, Ria dan Lida, mereka adalah tetangga-tetanggaku yang juga sekolah di MI Mansyaul Huda dan pulangnya sejalur dengan rumahku.
Setelah pulang sekolah aku shalat dluhur berjamaah dengan bundaku, sedangkan papa, masih bekerja dan bunda selalu mengingatkan papa untuk shalat di masjid dekat kantor papa.

Setelah shalat aku belajar sejenak mungkin 1 jam, untuk membaca, mengerjakan PR dan lain lain, dan setelah itu aku tidur 1 – 2 jam cukup menurutku.

Pukul tiga sore, aku pun bangun dan segera shalat berjamaah dengan bunda dan papaku, papaku sebagai imamnya karena papaku sedang tidak ada tugas, jadi papaku pulang cepet, setelah shalat aku pergi ke rumah kak Sri, dia adalah tetangga ku yang sudah lulus MI dan sekarang sekolah di MAN 2 Gresik, ku lihat wajahnya yang manis ditambah dengan kerudung putih yang bercorak batik yang sedang dipakainya, aku pun bertanya kepada kak Sri “kak, kenapa kakak selalu memakai kerudung dan tidak pernah sepertiku? dengan rambut terurai, dan poni sebagai pemanis, aku yakin kalau kak Sri tidak pakai kerudung, pasti lebih cantik”, “aduh adik cantik, kalau kita mau menjadi seorang muslimah, kita harus memulainya dengan hal-hal kecil, contohnya dengan memakai kerudung, ataupun dengan memakai baju muslimah yang menutup aurat” jawab kak Sri “tapi kan kak, aku sudah shalat 5 waktu, puasa, kurang apa coba?” balasku, namun kak Sri hanya tersenyum dan berkata “besok aja ya, kak Sri jelasin, karena sekarang kak Sri mau ke rumah temen kakak yang sekarang sedang sakit, kakak mau menjenguknya dulu ya Nia!”.

Akhirnya aku pulang ke rumah dengan membawa pertanyaan-pertanyaan yang selalu terngiang-ngiang di benakku, tak sabar menanti pertanyaan dari kak Sri, aku pun bertanya ke bunda “bun, apa setiap muslimah harus” namun belum selesai ku bertanya bunda memotong pembicaraanku dengan berkata “Nia, Handphone kamu ada sms, tadi bunda liat, tapi belum bunda baca, ayo cepat pergi ke kamarmu”.

Seteleah itu aku pun menuruti kata bunda, dan ternyata yang sms aku dari tadi pagi adalah kak Era,

Dari: kak Era
Assalamualaikum. Nia, kak Era mau kasih tau kalau di toko buku kakak ada buku baru, yang berjudul Muslimah Sejati, kamu cepet kesini ya, kakak tunggu nanti jam empat sore.

Untuk: Kak Era
Waalaikum salam, maaf baru bales kak, oke sediain satu untuk Nia ya kak, Nia mau beli satu.
“Ada sms masuk tolong dibaca”, lagi-lagi ringtone itu berbunyi di handphone ku. aku pun membaca sms itu,

Dari: Kak Era
Oke, Nia.

Kutengok jam kecil di tanganku dan ternyata sudah jam empat kurang sepuluh menit, aku pun berlari ke garasi mobilku, tapi aku mau mengambil sepeda kecilku yang berwarna merah yang ditaruh papa di garasi mobilku, tepatnya di sebelah kanan mobil papa, aku menuju toko buku milik kak Era yang berada jauh dari rumahku. sambil bersepeda, aku bicara dalam hati “beruntung aku tadi diberitahu oleh bunda tentang sms dari kak Era, kalau tidak pasti bukunya sudah habis, oh iya… aku belum menyelesaikan pertanyaanku ke bunda, ah, nanti di toko buku mudah-mudahan ada yang cocok dengan pertanyaanku, sehingga aku tidak perlu mencari tau ke bunda ataupun menunggu jawaban dari kak Sri”

Sesampainya di sana ku menyapa kak Era “Assalamualaikum kak, oh iya kak dimana tempat buku yang kakak kasih tau ke aku tadi?” kak Era pun menjawabnya “di tempat buku baru biasanya lo dek, kamu tinggal belok ke..” aku pun langsung memotong perkataan kak Era “Kiri, lalu ke depan sedikit dan bukunya ada di sebelah novel, lalu ada tulisan BUKU BARU, iya kan?” tanyaku dengan sedikit meledek kak Era, “hehehe Nia sekarang udah hafal tempat-tempat yang ada di toko buku kakak” aku pun tertawa sejenak dengan kak Era, setelah itu aku mulai berjalan menghampiri buku itu, dan kubaca dari halaman ke halaman sampai bukunya ludes ku baca, dan tak kusangka ada jawaban dari semua pertanyaanku yang belum selesai bertanya ke bunda dan jawaban yang kutunggu dari kak Sri, bahwa sebenarnya berkerudung itu sudah ada sejak zaman Nabi Muhammad SAW, dan bagi seorang muslimah awal seperti yang dibilang kak Sri harus melakukan hal yang kecil dahulu, yaitu dengan menutup aurat, semisal memakai kerudung atau yang lainnya dan jika kita tidak menutup aurat namun sudah melakukan shalat 5 waktu dan lain lain, itu sama halnya kita berbohong kepada orang lain.

Keesokan harinya aku mulai dan menganti penampilanku dengan memakai kerudung dan pakaian muslimah.
Entah kenapa setelah aku memakai kerudung, aku merasa lebih aman dan tentram, meskipun awal-awal ku memakai kerudung, aku agak risih, namun akhirnya aku bisa dan terbiasa, sehingga di kelas 5 ini adalah awal dari aku ‘Nia Dwi Sulistyo’ memakai kerudung.
“Terima kasih ya allah sudah membuka hatiku sehingga aku mau memakai kerudung” itulah do’a yang selalu ku selipkan di setiap shalatku.







Cerpen Karangan: Putri Lestari
Facebook: putriclalu.ctia.14.facebook.com


Semua Kehendak Allah

Semua Kehendak Allah
ALLAAHU AKBAR ALLAAHU AKBAR..!! pukul 04:40 pagi, aku membuka mata, mendengarkan lantunan adzan subuh yang begitu indah. Hati ini terasa tenang dan damai tatkala adzan berkumandang menandakan waktu sholat untuk beribadah kepada Allah SWT telah tiba. Yang sedari malam, aku tak bisa beristirahat dengan tenang karena kepalaku sakit dan tubuhku serasa akan demam, pupus sudah setelah mendengar lantunan adzan yang begitu merdu masuk ke telingaku. Aku ingat saat masih kecil. Ketika itu aku sedang bermain di halaman rumah bersama Abi, yang kemudian aku mendengar sebuah lantunan merdu yang menggetarkan hati ini. Serasa aku ingin meneteskan air mata mendengar lantunan merdu tersebut yang begitu mampu membuat diriku terkesima.

“Abi, suara merdu apa ini?,” tanyaku pada Abi. Abi tersenyum dan mendekatiku.
“Alhamdulillah, waktu sholat telah tiba. Nisa, itu adalah adzan yang menandakan waktu sholat telah tiba. Kita sebagai umat muslim wajib mengerjakan sholat ketika waktunya tiba,” tutur Abi padaku.
“Tapi kok disini terasa tentram dan tenang, Abi? tadi waktu lagi main, Nisa ga ngerasain apa-apa, tapi.. saat suara merdu yang Abi sebut adzan itu terdengar, di sini terasa tenang. Kenapa Abi?,” tanyaku polos dengan wajah lugu sambil menunjuk dadaku sendiri. Abi memegang pundak kecilku kemudian tersenyum.

Kenangan masa lalu. Aku segera bangkit dari tempat tidurku kemudian mengambil air Wudlu untuk mensucikan diri dari hadats. Setelah selesai, aku mengenakan mukena sholat yang berguna untuk menutupi aurat. Aku ingat betul kata-kata Abi, kalau sedang sholat aurat kita harus tertutup. Abi banyak mengajarkan tentang Islam kepadaku. Abi mengajarkan sholat, mengaji, puasa dan lain-lain kepadaku. Sedangkan Ummi selalu menasihatiku agar menjaga ucapan dan selalu berbuat baik terhadap sesama. Subhanallah, terima kasih Ya Allah, Engkau menghadirkan seorang Ayah dan seorang Ibu yang begitu mulia di mataku. Yang selalu mendekatkan diri kepada-MU dan mengajarkan kepadaku untuk senantiasa mendekatkan diri kepada-MU.

Aku berdoa, agar Abi mendapat tempat di sisi Allah SWT, menjadi salah seorang penghuni surga. Aku berdoa agar diberi kesabaran dan kekuatan dalam menghadapi segala cobaan yang Allah SWT berikan kepadaku dan kepada Ummi. Ketika Abi meninggal, aku sangat terpukul. Hatiku begitu sakit ditinggal oleh Abi yang selama ini selalu menemani hari-hariku dan mengajarkanku bagaimana menjadi seorang muslimah. Apalagi saat Abi meninggal, Ummi begitu merasakan kesedihan hingga beliau jatuh pingsan di sebelah jenazah Abi yang telah dikafani. Melihat Ummi yang begitu menderita atas kepergian Abi, aku sangat sedih. Yang bisa aku lakukan hanyalah berdoa dan menyerahkan semuanya kepada Sang Khalik, yang menciptakan bumi beserta isinya dan yang menciptakan makhluk hidup yang ada di dunia ini. Saat Abi meninggal, aku sempat marah kenapa Allah mengambil nyawa Abi. Namun, aku kembali mengingat ucapan Abi ketika di rumah sakit dan segera beristigfar memohon ampun kepada Allah atas sikapku.

“Kalau Abi sudah pergi, Nisa sama Ummi jangan sedih, ya? jangan marah, jangan kecewa. Karena sesungguhnya semua yang hidup pasti akan merasakan mati. Dan semua makhluk hidup yang telah diciptakan Allah SWT suatu saat akan kembali kepadaNYA. Nisa sama Ummi harus lebih bersabar dalam menjalani hidup, bahkan ketika cobaan hidup datang kalian harus terus berdoa. Ketika cobaan dan masalah datang, Nisa jangan pernah berpikir kalau Allah tidak sayang sama Nisa dan Ummi, justru Allah sangat sayang sama Nisa dan Ummi. Ingat, Allah SWT tidak akan pernah memberikan cobaan diluar batas kemampuan manusia. Ketika sedang sedih ataupun senang, Nisa harus terus mengingat Allah. Jangan pernah tinggalkan sholat dan terus berdzikir kepada Allah. Nisa mengerti, kan apa yang Abi katakan?,” tutur Abi dengan suara pelan.

Aku meneteskan air mata mengingat perkataan Abi. Aku berdoa agar Abi dijauhkan dari siksa kubur dan api neraka yang amat mengerikan. Ya Allah, aku berterima kasih dan sangat bersyukur kepada-MU karena telah menghadirkan seorang Ayah seperti Abi. Aku sangat bersyukur memiliki orangtua sholeh dan sholeha seperti Abi dan Ummi. Semoga aku bisa menjadi seorang muslimah yang baik seperti Ummi. Amin, Ya Rabb. Selepas sholat subuh, aku mengambil Al-qur’an dan mulai membaca ayat suci Al-qur’an. Kemudian teringat lagi ketika Abi mengajariku membaca Al-qur’an dan menyuruhku menghapalkan surah-surah pendek yang terdapat di dalam Al-qur’an setiap selesai mengaji. Saat kecil, kita pasti pernah diceritakan dongeng sebelum tidur oleh orangtua kita. Disaat anak-anak lain minta diceritakan dongeng cinderella, putri salju, rapunzel dan cerita anak lainnya, Aku justru meminta kepada Abi dan Ummi untuk diceritakan kisah para Nabi dan Rasul. Dan banyak pelajaran berharga yang aku dapat. Subhanallah, aku bersyukur mempunyai sebuah keluarga kecil yang sakinah, mawaddah, warahmah.

Pagi hari. Ayam tetangga berkokok bersahut-sahutan dengan sesama ayam lainnya. Burung-burung berkicau di antara ranting-ranting pepohonan. Matahari mulai terbit di ufuk Timur menghangatkan pagi di hari itu. Udara bersih masih menyegarkan pagi itu. Aku membuka jendela kamarku, menghirup udara segar nan bersih, melihat orang-orang yang mulai lalu lalang di jalan depan rumah. Aku meraih tas cokelat yang aku beli tahun lalu, sambil bergumam “Saatnya memulai hari dengan Bismillah..,”.

“Nisaaa. Ayo sarapan,” panggil Ummi dari ruang makan.
“Iyaa, Ummi,” sahutku sambil mengenakan kaos kaki kemudian keluar dari kamar menuju ruang makan. Aroma roti panggang mulai tercium, Uuhh.. wanginya roti buatan Ummi, gumamku tersenyum.
“Pagi, Ummi,” sapaku ramah sambil melihat hidangan sarapan pagi yang telah Ummi siapkan di meja.
“Pagi, nak. Ayo duduk,” Ummi mempersilakan aku duduk menikmati sarapan pagi buatan Ummi.
“Wah, kayaknya enak, nih. Hehe..,” godaku.
“kok kayaknya, sih?,” tanya Ummi dengan raut wajah yang sengaja dibuat cemberut.
“Iya, deh. Roti panggang ini pasti enak. kan buatan Ummi,” pujiku sambil tertawa kecil. Ummi tersenyum mendengar pujianku. Ya Allah, senang rasanya melihat Ummi bisa tersenyum seperti itu. Terakhir kali aku lihat Ummi tersenyum saat Abi masih ada. Semoga Ummi akan selalu tersenyum seperti ini. Rasanya bahagia melihat Ummi tersenyum lagi. Terima kasih, Ya Allah.
“Nis, kamu mau berangkat kerja sekarang?,” tanya Ummi sambil mengoles selembar roti panggang dengan selai buah.
“Iya, Ummi,” jawabku sambil meneguk segelas susu hangat. Perlahan wajah Ummi berubah diam, datar.
“Ummi kenapa diam? ada masalah, ya Ummi?.” tanyaku pelan sambil melihat raut wajah Ummi yang berubah. Ya Allah, baru saja Ummi tersenyum sekarang Ummi terlihat sedih lagi.
“Ah, tidak kok, nak. Ummi hanya kesepian di rumah soalnya kamu berangkat kerja pagi-pagi pulangnya juga malam. Coba masih ada Abi kamu, Nis. Pasti Ummi tidak akan kesepian terus,” kata Ummi sedih. Matanya mulai berkaca-kaca menandakan sebentar lagi Ummi akan meneteskan air mata. Padahal, mata Ummi sudah sembab. Aku tidak tega melihat Ummi sedih, lalu kupegang tangan Ummi.
“Ummi.. ummi ga usah sedih. Ummi ga kesepian, kok. Kan Allah selalu berada di dekat hambaNYA, kan. Allah selalu berada di hati hambaNYA yang mulia seperti Ummi. Dan juga… Ummi ga perlu khawatir sama Abi. Abi pasti udah mendapatkan tempat yang indah di Surga. Abi juga pasti sedih kalau melihat Ummi sedih atas dirinya. Abi ga akan senang kalau Ummi selalu bersedih atas kepergian Abi. Ummi, kita ga boleh terus-terusan sedih. Kepergian Abi merupakan kehendak Allah SWT, dan kita harus yakin semua itu adalah rencana terbaik Allah untuk kita berdua. Ummi juga ingat, kan apa kata Abi? Abi bilang kita ga boleh sedih kalau nanti Abi udah ninggalin kita. Kita hanya harus berdoa kepada Allah agar kita diberi kesabaran dan kekuatan atas cobaan Allah. Jadi, Ummi ga perlu sedih lagi ya?,” ucapku pada Ummi. Ummi menghapus air matanya kemudian tersenyum melihatku.
“Ummi bersyukur sekali masih punya kamu disisi Ummi, Nis. Tidak terasa kamu telah tumbuh menjadi anak yang sholeha seperti dambaan Abi sama Ummi,” ucap Ummi tersenyum, namun masih menyisakan air mata di sudut matanya. Aku tersenyum. Kemudian menyalami tangan Ummi berpamitan untuk berangkat kerja.

Siang hari. Matahari bersinar terik. Beberapa orang mencoba berlindung di tempat teduh. Seorang perempuan berteduh di bawah pepohonan menghindari sengatan sinar matahari. Namun tidak denganku. Aku tidak berlindung di tempat teduh atau di bawah pohon. Aku sudah cukup teduh dengan jilbab dan pakaian yang kukenakan, melindungiku dari sengatan sinar matahari yang panas. Namun, siapa sangka, di hari itulah awal pertemuanku dengan seorang lelaki yang sekarang menjadi Imam bagi anak-anakku.

Hari itu, aku bertemu dengan Mas Syawal sepulang dari kantor. Kami bertemu saat aku sedang menunggu taksi di pinggir jalan dekat kantor. Mas Syawal saat itu tengah menjemput Sarah, adik kecilnya yang sedang duduk di bangku Sekolah Dasar. Aku masih ingat ketika masih SMA dulu, Sarah masih bayi. Aku sering melihat Mas Syawal menggendong Sarah di teras rumahnya. Saat itu juga, diam-diam terselip di hatiku rasa kagum kepada Mas Syawal. Subhanallah, disaat semua anak-anak muda seumuran Mas Syawal masih bergelit dengan foya-foya, pacaran sana sini, Mas Syawal memilih membantu Ibunya menjaga Sarah dan melaksanakan sholat berjamaah di masjid. Aku kagum dengan kepribadian Mas Syawal yang beda dengan anak laki-laki lainnya. Itulah mengapa aku selalu melewati daerah rumahnya dengan mengendarai sepeda hanya untuk melihat Mas Syawal. Kalau mengingat kejadian tersebut, aku merasa lucu dan malu. Yah, namanya anak remaja pasti pernah merasakan rasa kagum terhadap lawan jenisnya. Aku juga pernah dinasehati Abi dan Ummi kalau rasa suka tersebut memang tidak dilarang, namun harus dalam batas-batas tertentu. Aku juga mengerti apa yang dimaksud Abi dan Ummi, kalau aku boleh suka kepada lawan jenis, tetapi aku tidak boleh melakukan apa yang anak muda lakukan, yaitu PACARAN! Abi dan Ummi mengatakan kalau pacaran memang dibenarkan dalam Islam, tetapi dilakukan setelah menikah bukan sebelum menikah. Pacaran sebelum menikah adalah zina dan zina adalah perbuatan yang keji. Aku bersyukur, tumbuh dalam sebuah keluarga yang dekat dengan Islam, dekat dengan Allah SWT. Masa-masa remajaku aku lalui dengan baik dan benar, semua karena bimbingan Abi dan Ummi.

Ketika sedang menunggu taksi di pinggir jalan, sebuah mobil berwarna putih berhenti tepat di depanku. Seorang pria mengenakan setelan hitam keluar dari mobil tersebut kemudian menatapku. Pria itu tersenyum ramah. Aku melihat sekilas wajah pria tersebut, sepertinya aku mengenalnya tetapi aku tidak tahu siapa dia.
“Assalamu’alaikum,” Ucapnya ramah padaku.
“Wa’alaikumsalam,” Jawabku masih dengan tatapan keheranan.
“Maaf sebelumnya. Saya ingin bertanya. kamu Nisa, kan?,” tanyanya. Aku mengerutkan kening. Bagaimana dia tahu namaku? siapa dia? wajahnya terlihat tidak asing.
“Iya. Maaf, anda siapa, ya? kok tahu nama saya?,” tanyaku balik. Pria tersebut tersenyum lebar.
“Jadi kamu Nisa? Nisa Annisa, kan? Nis, ini aku, Syawal. Ingat ga? kita dulu bersekolah di SMA yang sama. Syawal,” Ucapnya sedikit senang. Aku terkejut mendengar pengakuannya. Lalu kuperhatikan wajahnya. Astagfirullah, dia memang Mas Syawal.
“Mas Syawal? aduh, maaf mas tadi saya ga ngenalin wajahnya Mas Syawal. Subhanallah, Mas Syawal ternyata ga berubah. Akunya saja yang lupa,” tukasku tersenyum.
“Kamu juga ga berubah kok, Nis. Alhamdulillah, setelah bertahun-tahun aku baru ketemu sama kamu di sini. Bagaimana kabar kamu, Nis?,”
“Alhamdulillah baik, Mas Syawal. Mas Syawal gimana, baik keadaannya?,”
“Alhamdulillah, aku baik kok, Nis,” jawabnya. Pintu mobil kembali terbuka, kali ini seorang gadis kecil berkerudung keluar dari mobil tersebut.
“Kak, kok kita berhenti?,” tanyanya.
“Oh, iya, Nis. Kenalin, ini Sarah adikku. Sarah, kenalin ini kakak Nisa, teman sekolah kak Syawal,” ucapnya mengenalkan kami. Aku tersenyum sambil menyebutkan namaku. Sarah juga tersenyum sambil menyalami tanganku dengan sopan. Sarah gadis kecil yang sopan, aku juga bisa merasakan kalau Sarah adalah anak yang baik.
“Nisa, kamu baru pulang kerja, ya?,” tanya Mas Syawal.
“Iya, Mas. Ini aku lagi nungguin taksi. Eh ga taunya Mas Syawal datang. Tadi aku pikir siapa lho, mas ternyata Mas Syawal,”
“Rumah kamu masih yang dulu, kan? aku antarin kamu pulang, ya sekalian masih banyak yang mau aku bicarakan sama kamu. Boleh aku antar pulang?,” ajaknya dengan sopan.
“Oh, ga usah Mas Syawal. Takut ngerepotin,”
“Ngga, kok. Ngga ngerepotin sama sekali. Malah aku senang ngantarin teman lama pulang. Dari pada kamu kepanasan di sini, lagi pula sebentar lagi waktunya sholat Dzuhur, kan?,” tanyanya. Mas Syawal meminta agar dia mengantarku pulang. Awalnya aku tidak enak harus merepotkan Mas Syawal, namun mengingat waktu sholat Dzuhur sebentar lagi tiba, aku menerima tawarannya. Kami pulang bersama siang itu. Di perjalanan, banyak hal yang ditanyakan Mas Syawal. Kami bercerita tentang pendidikan kami dan banyak hal. Dalam sekejap, kami menjadi akrab kembali hanya karena pertemuan di siang itu.

Sesampainya di rumah, aku mengajak Mas Syawal singgah di rumah dan kukenalkan kepada Ummi. Ketika waktu sholat dzuhur tiba, kami memutuskan untuk sholat berjamaah di rumah. Aku, Ummi dan Sarah menjadi makmumnya sedangkan Mas Syawal sebagai imam saat itu. Aku tahu, semua kejadian hari itu, pertemuan itu adalah kehendak Allah SWT. Allah SWT mempertemukan kembali aku dengan Mas Syawal. Selepas sholat, kami kebali bercerita sekedar menambah keakraban di antara keluargaku dan Mas Syawal.

Hari-hari berlalu dengan cepat. Mas Syawal ternyata manajer baru di kantor tempat aku bekerja. Suatu kebetulan yang luar biasa. Aku semakin yakin ada sebuah alasan mengapa Allah SWT menghendaki Mas Syawal bertemu denganku. Walaupun seorang manajer, Mas Syawal tidak bersikap angkuh dan sombong. Dia tetap ramah kepada siapa saja, entah itu karyawan atau pun office boy yang ada di kantorku. Oleh karena itu, Mas Syawal disenangi semua orang. Semua orang menyukai kepribadiannya yang baik dan tidak sombong. Aku dan Mas Syawal semakin akrab, karena kami bekerja di tempat yang sama. Aku menjadi kebingungan, tatkala rasa yang pernah aku rasakan sewaktu dulu kini kembali muncul di hatiku. Ya Allah, rasa apakah ini? mengapa rasa ini kembali muncul setelah sekian tahun lamanya aku tak bertemu dengannya? Ampunilah aku atas rasa yang tidak benar ini, Ya Allah! aku tidak boleh menyukai Mas Syawal tanpa adanya status pernikahan yang jelas. Bagaimana mungkin aku menyukai seorang pria padahal aku belum menikah dengannya?

Setiap malam aku berdoa. Aku berdoa, jika memang ia jodohku maka dekatkanlah ia padaku, Ya Allah. Ridhoilah perasaan ini, karena sesungguhnya hamba yang mulia adalah hamba yang mencintai dan dicintai karena Allah SWT. Namun, jika ia bukan jodohku maka jangan biarkan rasa ini terus berada di dalam hatiku. Aku ikhlas jika memang ia bukan jodohku, bukan calon imamku kelak. Ya Allah, Engkaulah yang mengatur segalanya, rezeki bahkan jodoh. Yang manusia bisa lakukan hanya berdoa dan memohon kepada-MU Ya Allah.

Hingga suatu hari. Suatu hari dimana Allah telah manjawab semua doaku. Suatu hari dimana aku akan mendapatkan kebahagiaan yang luar biasa. Semua atas kehendak Allah SWT. Mas Syawal mengkhitbahku!! ia ingin menjadikan aku pendamping hidupnya, seperti Nabi Adam dan Hawa. Ia ingin menjadi imam bagi anak-anakku kelak. Ia ingin aku menjadi seorang Ibu bagi anak-anaknya nanti. Ia juga mengatakan, untuk apa ia melanjutkan pendidikan keluar negeri kalau ternyata tulang rusuknya berada di dekatnya saat ini. Ia ingin menikahiku. Subhanallah, air mataku menetes mendengar perkataannya di depan Ummi dan keluarganya. Aku sangat bahagia mendengar Mas Syawal ingin menikahiku, ingin membangun rumah tangga denganku. Ummi melihatku menangis penuh keharuan kemudian memelukku : “Sekarang kamu bukan Nisa kecil Ummi lagi, nak! tapi kamu sekarang adalah calon seorang Ibu bagi anak-anakmu nanti. Kamu akan menjadi seorang “Ummi”, seperti Ummi,” Ummi membisikkanku kata-kata tersebut dengan lembut. Aku sangat bahagia. Di tengah-tengah kebahagiaan itu, ada satu kesedihan yang melanda hatiku. Kebahagiaan itu ternyata terasa tak lengkap, ketika aku mengingat Abi yang saat itu tidak berada di sampingku, merasakan kebahagiaan yang sama.

Abi, andai Abi berada di sini saat ini, lengkaplah sudah semua kebahagiaanku. Tapi aku tahu, Abi pasti sedang bahagia di surga sana, melihat putri kecilnya yang akan menikah dengan seorang pria seperti Abi. Abi, Mas Syawal akan menjadi suami Nisa, seperti Abi yang telah menjadi suami Ummi dan Ayah bagi aku. Ingin rasanya Abi berada di sini, melengkapi semua kebahagiaan ini. Terimah kasih, Abi sudah membimbing Nisa selama ini, mengajari Nisa berbagai hal.
Ya Allah, Terima kasih telah mempertemukan aku dengan Mas Syawal. Ridhoilah pernikahan kami. Karena sesungguhnya kami berdua saling mencintai karenaMU Ya Allah. Dan semua ini terjadi atas izinMU, yang dapat memisahkan kami hanya Engkau, Ya Allah. Aku bersyukur kepadaMU karena telah menghadirkan mereka di kehidupanku. Amin, Ya Rabb.







Cerpen Karangan: Rizka Dwigrah. P
Facebook: Rizka Dwigrah

Bukan Kamu Yang Dulu

Bukan Kamu Yang Dulu
Aku melihatnya. Gadis bertubuh atletis dengan rambut panjang yang diikat satu di tengah dan dengan hidung mancungnya, menggunakan celana jeans ketat dan baju kaos berlengan pendek berwarna hitam yang juga ketat.
Dia melihatku, lalu mengalihkan pandangannya. Terus seperti itu. Sedangkan aku terus menatapnya tanpa mengalihkan pandangan kemanapun. Apa dia tidak berani menatapku? Aku ingin sekali bicara kepadanya bahwa kamu bukan yang dulu yang pernah kukenal. Ingin sekali aku berteriak di telinganya bahwa Kamu berubah. Benar-benar berubah.
Kemana jilbab yang selalu kamu pakai untuk menutupi auratmu?
kemana baju panjang yang selalu kamu pakai untuk menutupi auratmu?
kemana rok panjang yang selalu kamu pakai untuk menutupi auratmu?
kemana kamu yang dulu? Yang selalu menggunakan pakaian sopan, menjaga gaya berbicara, yang selalu pergi mengaji bersamaku? Apa kamu tahu bahwa aku merindukan kamu yang dulu?
Dulu kita sangat dekat hingga kemanapun kamu pergi aku ikut, tapi sekarang kita seperti tidak pernah kenal. Jika bertemu pun paling cuman tersenyum, tidak ada yang lain.

“Ngeliatin dia mulu, kenapa sih? Masih gak terima kalo Dea udah berubah?” suara Anna berhasil mengalihkan pandanganku kepadanya. Gadis dengan jilbab berwarna putih itu tahu semua tentang Dea. Aku tidak menjawab pertanyaannya karena apa yang Anna katakan memang benar, aku masih belum menerima yang terjadi pada sahabatku.

Kita sedang ada di koridor kelas, sebentar lagi Dea dan teman-temannya akan tampil Dance. Makannya dia menggunakan pakaian bebas sedangkan aku menggunakan baju seragam sekolah Smp karena aku dan teman-temanku sudah tampil terlebih dahulu.

“Udahlah, kamu sabar aja, mungkin dia akan berubah lagi kaya dulu,”
“Amin, semoga aja,” jawabku.

Setelah bel tanda pulang berbunyi dan guru mata pelajaran sudah ke luar kelas, tanpa menunggu aba-aba lagi aku langsung mengambil tas dan pulang ke rumah. Aku ingin tidur siang, dari kemarin kerja kelompok tidak pernah terlewat, sekaranglah waktunya untuk beristirahat.
“Amel! Tunggu!” Teriakan seseorang menghentikan langkahku. Anna.
“Kenapa?”
“Pulang bareng yuk?” aku hanya tersenyum dan mengangguk, pertanda setuju dengan ajakan Anna.

Pandanganku tiba-tiba teralih pada sekumpulan siswa wanita yang sedang bercanda ria di depan gerbang sekolah. Dan salah satu dari mereka ada seseorang yang sangat kukenal, Dea. Aku tidak heran melihatnya berkumpul dengan para siswa yang terkenal di sekolah. Pergaulannya sudah berubah, beda sekali dengan dulu yang selalu berkumpul dengan Majelis Ta’lim.
Dia sempat melihatku, lalu mengalihkan pandangannya. Kebiasaan.

Sesampainya di rumah aku langsung menuju kamar, mengganti baju dan menunaikan salat zuhur, lalu berbaring di atas kasur menatap langit-langit kamarku.

Dea..
tiba-tiba pikiranku tertuju pada Dea, teman pertamaku. Melihat dia menari di depan banyak orang dengan baju ketatnya yang memperlihatkan lekuk tubuhnya, aku ingin menangis saat itu juga, ingin sekali ku tarik dia pergi dari podium lalu memberitahu bahwa apa yang dia lakukan itu salah, akan ku berikan jilbab kepadanya supaya dia bisa seperti dulu. Tapi apa mungkin? Kenyataannya aku hanya diam memperhatikannya, aku tidak berani menariknya pergi dari podium karena pasti dia akan sangat malu dan akan marah padaku. Jadi aku hanya diam. Seperti tidak pernah mengenalnya, kalau bertemu pun aku memalingkan muka. Kenapa? Karena aku tidak mau dia malu di depan teman-temannya bahwa dia pernah berteman denganku, aku tidak mau dia malu di depan teman-temannya kalau dia punya teman sepertiku, makannya aku menjauh dari kehidupannya. Apa aku sombong? Mungkin saja karena itu semua hanya untuk membuat Dea tidak malu terhadap teman-temannya.
Mataku basah. Dan kuyakin aku pasti menangis. Kuhela napas lalu memeluk guling di sampingku.
“Aku harap kamu tidak malu berteman denganku, Dea.” bisikku entah pada siapa.
Tak lama aku pun tertidur.

Kubuka mata dengan cepat, lalu melihat jam di dinding. Jam 3. Ya ampun, apa yang baru aku impikan? Aku berpelukan dengan Dea, lalu dia meminta maaf kepadaku dan berjanji akan kembali seperti dulu lagi, semua itu seperti sangat nyata. Tanpa sadar aku menyunggingkan senyum kecil. Apa mungkin ini pertanda bahwa Dea akan kembali seperti dulu? Aku harap begitu.

Dea… aku menunggumu.

Selesai.





Cerpen Karangan: Amelia
Facebook: Illa amelia