Tuhan, Dengar Aku





Aku memaksakan kedua mataku terbuka. Melawan bisik-bisik halus untuk tetap terlelap di sepertiga malamnya. Jika saja bukan karena sebuah kewajiban dan keharusan bagiku, selimut tebal itu tentu akan ku tarik kembali. Membiarkannya membalut tubuhku, melanjutkan lagi mimpi yang terhenti.

Tubuhku bergidik. Dibasuhi air wudu yang menjalar masuk ke dalam pori-pori tubuhku. Pagi ini, ku dirikan lagi dua rakaat bersama rintih keluh dalam sujudnya. Ada perasaan kalut dalam diriku. Dalam hati, aku merindukan sosok imam dalam salatku, dan satu bidadari cantik dalam hidupku. Yah, ibu dan bapak. Dua malaikat dalam hidupku.

Rasanya sudah lama sekali aku tidak mencium tangan bapak. Bahkan untuk senyum pun hampir tak pernah aku dapatkan lagi dari bibirnya. Ia hanya akan ada di rumah jika matanya mulai lelah. 10 menit lagi adzan subuh berkumandang. Aku bergegas menuju kamar bapak. Sedikit mengguncangkan tubuhnya, aku berbisik. Meskipun aku tahu bapak tak akan mampu mengerti bahasa tubuhku. Bapak berontak. Matanya seolah berbicara bahwa ia tak ingin ada aku di hadapannya. Aku berusaha berbicara dengan bahasa tanganku agar bapak mengerti.

“Apa? Salat? Apa dengan salat bisa membuat kita kaya raya lagi? Berdoa saja sana! Sampai air matamu habis pun Tuhan tidak akan pernah mendengar doa orang bisu sepertimu!”

Aku terduduk lemas. Lagi-lagi bapak meninggalkan aku dengan sejuta kata hina yang begitu menyayat hati. Perlahan air mataku mulai jatuh. Aku menangis. Aku terbangun, ketika menyadari cahaya matahari yang masuk menyilaukan kedua mataku dari balik jendela. Aku melirik jam dinding. Pukul 09.00. Aku harus menengok ibu digudang. Ia akan berontak jika perutnya terasa lapar. Namun syukurlah, ia masih terlelap bersama peluhnya.

Melihat tubuhnya terkulai lemah dengan pasung di kedua kakinya, aku jadi merasa benci pada diriku. Jika saja kejadian 3 bulan lalu tak pernah terjadi akibat kebodohanku, mungkin ayah akan tetap jadi ayah yang berjuang paruh waktu demi perusahaan yang menjadi cita-cita terbesarnya. Dan ibu akan tetap jadi ibu yang ceria dengan sifat periangnya. Dan aku, akan tetap jadi aku yang sempurna karena kehadiran kedua orangtuaku, meskipun keterbatasan bersarang dalam diriku sejak aku terlahir.

Aku masih ingat jelas. Sore itu hujan deras. Listrik di sekitar perumahanku padam. Ibu belum kembali sejak tadi sore mengantar cupcake pesanan para tetangga. Sedangkan bapak seperti biasa. Pulang larut malam saat kami terlelap di alam bawah sadar. Aku hanya berdua dengan Bi Surti. Asisten rumah tagga di rumahku. Bi Surti menghampiriku dan menyalakan sebuah lilin untukku. “Lala tunggu di sini sebentar tidak apa-apa ya? Lagi pula sudah ada lilin, jadi Lala tidak akan merasa gelap. Bi Surti mau menjemput Ibu di rumah Bu Midah,” Bi Surti tersenyum. Aku mengangguk.

Aku benci saat dunia mulai gelap. Apalagi jika listrik ikut-ikutan padam. Ku rebahkan tubuhku di atas kasur lantai. Aku menarik selimut agar tubuhku terbalut sempurna. Namun, ujung selimut itu menyenggol lilin di sampingku. Aku baru menyadari saat hawa panas menjalar melahap sebagian selimut yang tengah ku kenakan. Aku terlonjak. Api itu menyambar tubuhku. Aku mengeluarkan baju-bajuku dari lemari, dan melemparkannya ke arah kobaran api.

Namun api semakin besar dan memakan setiap benda dalam rumahku. Aku ingin berteriak, namun pita suaraku lemah. Dan setelah itu, gelap. Entah, aku tidak mengingat apa-apa lagi. Aku berada di rumah sakit saat mataku terbuka. Tidak ada ibu, bapak, ataupun Bi Surti. Aku berusaha mengingat apa yang baru saja terjadi padaku. Tiba-tiba pintu terbuka. Aku melihat sosok ibu di sana. Matanya sembab. Tangannya gemetar hebat. Dan itu bapak. Wajahnya merah menahan marah. Aku menangis, dan satu tamparan kecil mendarat di pipi kiriku.



Aku hanya dua hari berada di rumah sakit. Meskipun luka bakar dalam tubuhku masih sangat membuatku kesakitan. Ibu bilang bapak tak mampu membayar biaya rumah sakit lagi. Perusahaan bapak bangkrut. Arsip-arsip dan surat-surat penting habis terbakar. Kerja samanya dengan perusahaan lain pun dibatalkan. Hutang bapak menumpuk. Tanah pun terpaksa bapak jual. Rumah kami tak menyisakan satu barang pun, selain tembok-tembok gosong. Aku mengerti mengapa bapak semarah itu padaku.

Aku rasa bapak telah di luar batas kesabarannya. Perusahaan yang bapak elu-elukkan kini telah gagal. Dan ibulah yang menjadi kambing hitamnya. Bapak memasung ibu di gudang dengan seribu halusinasi dalam 3 bulan terakhir ini. Bapak bilang ibu tidak bisa mendidik aku dengan baik. Dan aku hanyalah benalu dalam hidupnya. Aku menjerit dalam hati. Aku benci diriku. Aku benci kekuranganku. Aku ingin ibu dan bapak mendengar suaraku.

Arrrggghhtt!!!

Aku menangis sejadi-jadinya sampai ibu terbangun. Lantas ibu menatapku dan memelukku hangat. Ibu tersenyum. Kemudian berbisik, “Allah mendengarmu Nak. Allah mendengar kita. Allah bersama kita.” Aku menangis memeluk ibu. Dalam hati aku membenarkan kata-kata ibu. Aku tak seharusnya membenci atas apa yang menjadi takdir Tuhan dalam hidupku. Bapak tak mampu mendengarku, begitu pun ibu. Tapi Tuhan mampu. Tuhan bersamaku. Tuhan, dengar aku.








Cerpen Karangan: Riska Desinta Putri
Facebook: Riska Desinta Putri

Share this

Related Posts

Previous
Next Post »